INDONESIA SAAT-SAAT TERAKHIR JOKOWI: Pasca Jangka Djajabaja(1) Jaman Edan: Profesor-Profesor Palsu Gentayangan di luar Kampus.

0
738

Sri-Bintang Pamungkas

Aku merasa lega ketika pesawat yg membawaku ke Los Angeles lewat Tokyo mulai lepas landas meninggalkan Jakarta dan FT-UI. Semua sendi dan ototku mulai mengendor… demikian pula syaraf-syarafku, baik pusat maupun tepi. Suatu kehidupan baru yang jauh dari beban berat yang menegangkan yang tiba-tiba sirna, mulai membentang dihadapanku… Aku terhenyak dan mulai pulas…

Sementara pesawat masih terbang jelajah, aku teringat kembali dua orang Cina yg bertemu di dalam Kereta Api Solo-Bandung sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Dalam obrolan kami, salahsatunya menanyakan apa yang menjadi cita-citaku selesai dari ITB nanti. Aku bilang ingin melanjutkan sekolahku ke AS.

Sebelum mereka turun entah di mana aku lupa, saya memberikan tandatanganku seperti yang dia minta. Dia bilang dari penglihatannya cita-citaku tak akan berhasil. Tanpa menunggu rasa ingin tahuku kenapa, dari tandatanganku itu ada kata “Bin” dan “tang” yang terpisah, katanya. Masing-masing kata diakhiri dengan huruf N dan G, yang menurutnya berarti “No Good”… Di pesawat yang membawaku untuk mulai kuliah lagi pada Fall Semester 1977 di University of Southern California di Los Angeles itu, aku sekali lagi mengumpat di dalam hati: “Busyet! Cino Edan!”

Terkenang pula olehku Dr. Ing. Purnomosidi Hadjisarosa. Dia menyetujui Program Studi yang aku mau ambil di AS, dengan tulisan tangannya yang rapi: … Ilmu Teknik dengan pendalaman pula pada Ilmu Ekonomi… Aku sendiri masih belum merasa pasti tentang apa yang aku cari bisa ketemu di negerinya Tom Sawyer dan Huckleberry Finn ini.

Ternyata secara menakjubkan, dari Insinyur Teknik Mesin ITB, aku mendapatkan Master of Science in Industrial and Systems Engineering di USC, sempat satu tahun mengambil kuliah-kuliah Ekonomi Teknik dan Programa Matematik di Georgia Institute of Technology di Atlanta, lalu memperoleh PhD di Ekonomi Industri dari Iowa State University di Ames, Iowa.

Purnomosidi adalah Penjabat Pelaksana Dekan Fakultas Teknik UI yang ditunjuk oleh Dekannya, yaitu Ir. Sutami. Aku masih sibuk mencari-cari apa sesungguhnya “profesor” atau “gurubesar” itu, sebelum menerima permintaan Pak Purnomosidi untuk menjadi Ketua Panitia Pemberian Jabatan Gurubesar kepada Ir. Sutami. Pada waktu itu, Ir. Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik; Pak Purnomosidi adalah stafnya di Kementerian.

Semula aku ragu, karena dari kamus dan berbagai tulisan yang aku baca, predikat Gurubesar hanya diberikan kepada Guru di Universitas, yaitu sebagai jabatan Guru tertinggi. Padahal Ir. Sutami bukan Dosen. Tetapi karena Pak Sutami sudah menjadi Dekan, dan aku adalah Pembantu Dekan Urusan Administrasi, sedang dua Pembantu Dekan lainnya tidak berkeberatan, maka aku pun menerima tugas tersebut.

Suatu skandal memang telah terjadi di FT-UI, sehingga memaksa Pak Sutami dan Purnomosidi mengambilalih pimpinan di FTUI… Lalu mengangkat Pembantu-pembantu Dekan yang baru, termasuk aku yang Ketua Jurusan Teknik Mesin. Beberapa kali aku bertemu berbincang dan berapat dengan Pak Sutami dan Pak Purnomosidi sebagai pimpinan FT-UI.

Tapi aku tidak pernah menyaksikan Pak Dekan mengajar di kelas. Sedang Pak Purnomosidi memang kembali memangku jabatannya sebagai Ketua Jurusan Metalurgi setelah Jurusan itu ditutup selama lima tahun. Aku pula yang membukanya kembali pada tahun ajaran baru 1977 itu.

Jabatan Profesor akhirnya resmi diperoleh Dr. Ir. Sutami. Setahun sebelumnya Ir. Sutami pun memperoleh Gelar Doktor Honoris Causa (HC), Doktor Kehormatan, dari Universitas Gajah Mada.

Yang menarik, dua-tiga tahun sebelumnya, Institut Teknologi Bandung juga menganugerahi Jabatan Profesor kepada Dr.Ing. BJ. Habibie, sekalipun Pak Habibie tidak pula pernah terdaftar sebagai dosen yang mengajar di ITB atau di tempat lain.

Tahun 1973 Pak Habibie dipanggil Presiden Soeharto untuk menjabat beberapa jabatan penting, antara lain, Menteri Riset dan Teknologi. Sebelumnya Pak Habibie bekerja sebaga Ahli Perancangan Pesawat Terbang di Perusahaan MBB (Messerschmid-Boelkow-Blohm), Hamburg, Jerman Barat, di mana gelar Dr. Ing diperolehnya dari Universitas Teknologi Aachen. BJ. Habibie meninggalkan berbagai kemewahan demi jabatan-jabatan politik yang menantinya di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa sejak kejadian keprofesoran BJ. Habibie itu orang menduga mulai terjadinya berbagai kekacuan di Indonesia tentang Jabatan Akademik dan Gelar Akademik. Orang berlomba-lomba mencari Jabatan dan Gelar tersebut dengan cara seenaknya dan “asal pakai” dan “asal mentereng”, tanpa segan merogoh kocek-nya.

Di jaman Orde Lama tidak ada yang seperti itu. Doktor adalah Gelar Akademik Tertinggi yg didapat lewat pendidikan sekolah, yaitu Sekolah Tinggi atau Universitas… Jadi, ditinjau dari sisi Ilmunya. Bisa pula tanpa lewat jalur sekolah, padahal terbukti Ilmunya Tinggi, maka untuk mereka bisa dianugerahi dengan Doktor Kehormatan (Honoris Causa). Contohnya adalah Bung Karno dan Bung Hatta.

Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah mendapat Jabatan Profesor dari mana pun, karena mereka tidak pernah tercantum sebagai dosen… Mereka pun tidak pernah mengklaim atau trutusan mencari-cari jabatan itu… Mereka tahu diri… Mereka sudah “besar” tanpa itu!

Sekalipun begitu, orang-orang seperti mereka bisa memperoleh Jabatan Profesor sekalipun gelarnya hanya S1… Ini dicontohkan oleh sahabat saya Drs. Dawam Rahardjo yg mendapat Jabatan Profesor ketika menjadi Dekan di Universitas Islam Bekasi… Dan juga oleh Ir. Sutami di atas… Dua-duanya Wong Solo!

Di dalam keprofesoran ini tidak ada istilah Profesor Honoris Causa, baik di Dunia maupun, mestinya, di Indonesia mereka yang seenaknya memakai jabatan profesor itu, sebut saja Profesor Humoris Causa, alias profesor banyolan.

Maka banyaklah korban berjatuhan… Seseorang bergelar Doktor yang ilmunya sudah tinggi mengajar di Universitas belasan, bahkan puluhan, tahun yang tinggal selangkah lagi berhak menyandang Jabatan Profesor, terpaksa kehilangan dari jabatannya itu karena ditolak oleh otoritas yang sewenang-wenang dan pekerjaannya suka Banyolan.

Kata Prof. Dr. Sofyan Effendi dari UGM, jumlah korbannya adalah ribuan. Sebagai akibatnya, banyak Program Studi yang macet karena dipimpin oleh para korban banyolan. Salahsatu korban adalah Dr. Sri Mardiyati dari FMIPA-UI.. Keprofesorannys ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, karena Ahli-Ahli yang diajukan Presiden menyebutkan sejumlah kekurangan Karya Ilmiah si Sri. Ahli-ahli Presiden itu diajukan, karena UU Guru dan Dosen (2005) yang dimintakan Uji Materi, tentu saja disahkan, selain oleh DPR, juga Presiden.

Kalau membaca ulasan para Prof. Dr. Ahli dari Presiden itu, maka saya, sebagai Dosen FT-UI selama 50 tahun mengajar, bisa saya sampaikan “tidak ada seorangpun mahasiswa, pasca Sarjana sekalipun, baik yang saya bimbing maupun saya uji, bisa lulus. Karena sejak membuat Skripsi, menuliskan “permasalahan” di Bab Pertama saja tidak bisa!… Saya ulang: tidak bisa! Jadi mereka mestinya TIDAK LULUS! Saya simpulkan, Para Ahli Presiden dari ITB dan Undip itu, hanya mencari-cari kesalahan si Sri! Tentu sambil pamer kehebatannya kepada Jokowi…

Bukan para Ahli itu saja yang menjegal si Sri… Melainkan berbagai perundang-undangan yang terkait, termasuk UU Guru dan Dosen, Peraturan-peraturan Pemerintah serta Peraturan-peraturan Menteri, khususnya PAN dan PAN/RB. Kalau Prof. Dr. Emil Salim yang memimpin Kemen PAN masih bisa dipercayalah… tapi kalau Hartarto, Sarwono “Waskat” dan Tjahaya Kumala… _Lha_ Sekolah Tinggi saja gak rampung… Biarlah tiap Perguruan Tinggi itu yang menilai para dosennya masing-masing… Urusan Menteri, khususnya Menteri Pendidikan, itu sampai Sekolah Menengah saja! Pendidikan Tinggi itu Otonom saja…

Saya justru menyampaikan hormat saya kepada Sdr. Ali Gufron Mukti, Dirjen Sumberdaya Iptek Dikti yg secara jernih dan tegas menyatakan: “Profesor bukan Gelar Akademik melainkan Jabatan Tertinggi yang diraih oleh Dosen. Jadi kalau ada orang mendapatkan Gelar Profesor, maka itu tidak benar!”

Kalau Megawati mendapat Gelar Dr. _Honoris Causa_, orang mungkin masih bisa manggut-manggut, sebagai perempuan yang menjadi Ketua Partai Politik 25 tahun dan masih bisa mengatur-atur Presiden RI. Tapi untuk Jabatan Profesor mungkin kita perlu ketawa ngakak, karena itu pasti banyolan.

Lha, sekarang Anwar Usman ikut trutusan mencari Profesor Humoris Causa, maka Dunia menjadi terbalik. Kalau mendapatkan Dr (HC), karena dalam pidato pengukuhannya nanti sekaligus akan menuliskan Penjelasan Pasal-demi-Pasal UUD Palsu 1945 yang menjadi keahliannya, maka masih ada orang yang bisa kasih Jempol. Wahai Mahkamah Konstitusi, dengan UUD Palsu 1945 itu, apa legal standing-mu itu benar-benar ada?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here