MENGENAL TOKOH NTB BERLEVEL NASIONAL, ZAINUL MAJDI (EDISI KELIMA)

0
1616

Oleh
YAMINUDDIN
(Pemred Medianseas.com)

Dalam perspektif politik pemerintahan dan demokratisasi posisi Gubernur pemilik kekuasaan negara tertinggi di wilayah Provinsi bersangkutan. Namun, sekalipun pemegang kekuasaan tertinggi, harus mampu membangun hubungan eksekutif dan legislatif harmonis, tidak gaduh, sinerjik dan kerjasama. Bukti hubungan semacam itu antara lain setiap rencana pembangunan daerah tsb baik menengah maupun tahunan harus melalui proses demokrasi yakni dibahas dan disepakati antara fihak eksekutif dan rakyat dalam hal ini DPRD.

Di dalam rencana ada sekitar 25 urusan pemerintahan, dari mulai urusan sosial perekonomian, pekerjaan umum, pendidikan, kesehatan, perdagangan, UKM dan Koperasi dll.

Beberapa Tulisan terdahulu telah disajikan data, fakta dan angka keberhasilan Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi, MA dalam urusan sosial perekonomian, khususnya indikator pengentasan fakir miskin atau kemiskinan rakyat NTB. Kami boleh menilai, kinerja Gubernur NTB ini urus sosial perekonomian di NTB tergolong bagus dan berhasil. Dari sisi kinerja urusan pemerintahan yang sangat mendasar, penanganan fakir miskin dan kemiskinan rakyat, sesungguhnya Gubernur NTB ini sudah berlevel nasional.

Kini pertanyaan berikutnya adalah: mengapa kinerja bagus dan berhasil urus sosial perekonomian?

Beragam faktor tentu dapat diajukan, tetapi paling dominan adalah faktor “kepemimpinan” atau “leadership” Gubernur NTB ini dalam melaksanakan urusan pemerintahan dan rakyat NTB.

Gubernur NTB ini mempunyai landasan kuat dalam leadership dan manajemen pemerintahan yang pada gilirannya melancarkan jalan bagi pelaksanaan tugas dan fungsinya bidang pemerintahan, baik sebagai Kepala Daerah maupun sebagai Wakil Pemerintah ( Pusat ) di daerah.
Atas pertimbangan kemampuannya yang telah terbukti, maka di hari Otonomi Daerah tahun 2017, Tuan Guru Bajang ditahbiskan sebagai salah satu Kepala Daerah yang mampu menterjemahkan serta menafsirkan hakekat otonomi daerah dalam mengimplementasikan kreasi atau inovasi untuk kemajuan dan kemandirian daerah. Ia telah berada pada level nasional !

Dalam perspektif Tuan Guru Bajang ini, hakekat otonomi daerah adalah membuka ruang kreativitas dan kemandirian. Baginya kiat sukses dalam memimpin adalah “pendekatan dalam memimpin”. Dalam hal ini Tuan Guru Bajang sangat percaya, pentingnya dilakukan hubungan komunikasi timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Perspektif ini acapkali diakui setiap pemimpin politik pemerintahan daerah, tetapi tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Sementara Tuan Guru Bajang betul-betul laksanakan prinsip hubungan dengan yang dipimpin itu. Tidak ada kesan atau bukti, Gubernur ini bersikap feodalis dan oligarkis seperti kebanyakan Gubernur di Indonesia. Apalagi ingkar janji atau berbohong terhadap rakyat, sangat jauh dari prilaku politik Gubernur NTB ini.

Jika kita mengacu regulasi,
Undang-undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pusat) di wilayah Provinsi. Dalam Bab VII tentang Penyelenggara Pemerintahan Daerah di Paragraf 7 pasal 91 hingga pasal 93 telah diatur secara jelas posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pusat) di wilayah Provinsi. Gubernur diberikan tugas dan wewenang dalam hal pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di provinsi dan kabupaten/kota serta koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di provinsi dan kabupaten/kota.

Oleh karenanya, Gubernur memantapkan koordinasi antar level pemerintahan dan memperkuat sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta mendukung efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Maka itu, posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi maupun posisi Gubernur sebagai Kepala Daerah di wilayah Provinsi dapat dilaksanakan sesuai dengan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi yang diamanatkan oleh UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. 

Penguatan fungsi Gubernur sebagai Kepala Daerah sekaligus sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi juga dimaksudkan memperkuat hubungan antar-tingkatan pemerintahan. Di samping itu pula, penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi seperti halnya dampak sosial dan ekonomi di daerah. Asas desentralisasi akan berdampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat serta pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan pembangunan.

Dalam pelaksanaan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi, maka hubungan antara Gubernur dengan Bupati/Walikota bersifat bertingkat, di mana Gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara kabupaten/kota di wilayah Provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 

Pada akhirnya posisi Gubernur selain sebagai Kepala Daerah di wilayah Provinsi, juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah Provinsi memiliki tugas dan fungsi yang sangat strategis dalam mensinergikan penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Prilaku Gubernur NTB selama ini sungguh-sungguh mengikuti regulasi di atas. Itulah sebabnya tidak ada bukti gaduh dengan DPRD juga Bupati dan Walikota di NTB. Dampak positif yakni kebijakan Gubernur NTB melaksanakan urusan sosial perekonomian mendapat dukungan dan partisipasi dari Pemerintahan Kota dan Kabupaten.

Tuan Guru Bajang mengakui, dalam menjalankan fungsi sebagai Kepala Daerah maupun Wakil Pemerintah di daerah, hal yang dilakukan, yakni
:

Pertama, mengutamakan pendekatan fungsional. Misalnya lebih senang berkeliling untuk mengunjungi segenap komponen yang ada di Kabupaten/Kota, sehingga para Bupati/Walikora merasa dihargai. Pendekatan fungsional meminimalisir ego sektoral atau raja-raja kecil di daerah sehingga eksekusi program yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi terlaksana dengan tepat sasaran.

Kedua, memastikan pelaksanaan apapun bentuknya, sejak perencanaan hingga pada pelaksanaan, pengawasan dan merasakan kemanfaatannya, harus melibatkan semua elemen masyarakat yang diletakkan secara sejajar.

Ketiga, dengan keterbatasan fiskal atau anggaran pembangunan yang dimiliki, dibutuhkan ketepatan menentukan prioritas pembangunan. Kalau presiden Jokowi menegaskan kebijakan “money follow function” Maka disini ditajamkan lagi pada prioritas sehingga menjadi” money follow priority”.

Bagi Gubernur NTB ini, penajaman skala prioritas tersebut ditekankan pada dua aspek, yakni prioritas regulasi dan budgeting policy. Disinilah pentingnya inovasi dan kreasi dimana mensyaratkan tiga syarat utama ruang ijtihat.

Pertama, inovasi itu berdampak positif bagi peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja birokrasi.

Kedua, inovasi itu dapat menyederhanakan prosedur pelayanan sehingga masyarakat dapat merasakan kemudahan pelayanan dalam segala sektor pembangunan.

Ketiga, meningkatkan sebanyak mungkin keterlibatan semua elemen masyarakat.

Menarik sekali, dalam mendorong percepatan pembangunan, Gubernur NTB menerapkan pendekatan PIN, akronim dari Percepatan, Inovasi dan Nilai Tambah.

Pada tahun 2019 mendatang Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres). Banyak pengamat politik pemerintahan dan tokoh politik daerah dan nasional menilai, perlunya tokoh politik alternatif untuk mengikuti Pilpres 2019. Salah seorang tokoh politik alternatif itu adalah Tuan Guru Bajang Sang Gubernur NTB sekarang.

Apakah Tuan Guru Bajang layak sebagai Presiden RI? Sebagian pendukung Tuan Guru Bajang menjawab: layak ! Salah satu alasan mereka adalah Gubernur NTB ini memiliki kompetensi sangat bagus sebagai penyelenggara negara. Secara akademis memiliki tingkat pengiriman Doktor bidang Tafsir Al Quran. Pengetahuan Gubernur NTB tentang Al Quran sangat baik. Sebagai kumpulan ” grand theory” tentu pengetahuan Gubernur ini ttg Al Quran membantu untuk memahami kausalitas permasalahan yang dihadapi negara dan rakyat Indonesia.

Dari sisi pengalaman atau unjuk kerja, Gubernur ini cukup baik. Pernah menjadi anggota DPR dan dua periode menjadi Gubernur yang sukses dalam keterbatasan anggaran pembangunan.

Selanjutnya, dari sisi integritas pribadi atau moralitas politik, sudah terbukti terbebas dari dugaan atau bahkan issue tindak pidana korupsi dan juga prilaku melanggar etika pemerintahan. Citra atau persepsi masyarakat NTB dan bahkan sebagian rakyat Indonesia tergolong baik tentang Gubernur NTB ini.
Satu bukti Gubernur NTB ini memiliki integritas tinggi adalah dipercayakannya sebagai Ketua Organisasi Alumni Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. Ia pernah kuliah di Universitas ini dari S1, S2, dan S3 (Doctor Tafsir). Kalangan cendikiawan dan intelektual Muslim Alumni Universitas bergengsi dunia international ini mempercayai Tuan Guru Bajang menjadi Ketua Organisasi Alumni Al Azhar Cairo di Indonesia. Fakta bahwa kalangan cendikiawan dan intelektual Muslim mengakui ia punya integritas.

Integritas tinggi Gubernur NTB ini, bagaimana pun, dipengaruhi latar belakang keluarga. Ia memiliki keluarga ulama, putra ketiga dari pasangan HM Djalaluddin SH, seorang pensiunan birokrat Pemda NTB dan Hj. Rauhun Zainuddin Abdul Madjid, putri dari TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain. Latar belakang religius dan taat pada ajaran agama ini mewarnai moralitas politik Gubernur NTB ini.

Dalam situasi politik Indonesia yang sedang kelaparan pemimpin berintegritas, punya pengetahuan dan pengalaman, serta umur muda, maka sepatutnya kita tidak abai terdapat tanda-tanda zaman. Tanda-tanda itu melekat pada diri Tuan Guru Bajang. Utama lagi dia seorang hafidz ( penghafal Alquran) yang pada gilirannya merupakan grand theory yang melekat pada dirinya dalam menghadapi masalah bangsa dan negara Indonesia ke depan. Sesuai ungkapan “to govern is to foresee”, maka seorang pemimpin pemerintahan tanpa menguasai grand theory, baik disadari atau tidak, kemampuannya untuk “to foresee” tentu tidak memadai.

Atas pertimbangan itu, dari kreteria kompetensi Tuan Guru Bajang layak sebagai Presiden.

Namun, jika melalui Pilpres secara langsung, tentu saja secara sosiologis ada kendala. Prilaku pemilih rakyat Indonesia masih dominan dipengaruhi kesamaan etnis sebagaimana dikenal dalam politik aliran, primordialisme. Dari diri Islam Politik, prilaku pemilih juga diakui tetapi fakta menunjukkan tidak bisa mencapai di atas 50 persen, paling sekitar 35 persen. Karena itu, jika Putra NTB ini maju menjadi Calon Presiden, secara sosiologis akan mengalami kekalahan jika bersaing dengan tokoh politik etnis Jawa. Prediksi ini bisa batal jika Allah SWT berkehendak lain!

Sebagai tokoh politik berlevel nasional, Gubernur NTB ini sudah layak secara kompetensi sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2019. Namun, dari kriteria sosiologis prilaku prilaku pemilih masih belum layak karena Ia bukan dari etnis Jawa. Lalu, sebaiknya sebagai apa? Calon Wakil Presiden berpasangan dengan tokoh politik etnis Jawa bukan dari kekuatan Islam Politik, tetapi dari nasionalis seperti Prabowo, Gatot dan Jokowi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here