Dunia sekarang nyaris tanpa batas. Dalam kasus corona, tidak hanya virusnya yang menyerang secara global sehingga menjadi pandemi, namun juga dampaknya dalam berbagai dimensi kehidupan.
Banyak tulisan mengupas pengaruh corona terhadap perekonomian nasional. Tentang bagaimana pemerintah melakukan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang semula diasumsikan akan tumbuh rata rata 5,4 – 6 persen dalam rentang lima tahun, turun pada kisaran 5,1 – 5,4 persen. Juga tentang IHSG yang nyungsep dari angka di atas 6 ribuan menuju angka sementara di bawah 5 ribuan. Saya sengaja memakai istilah sementara, karena kita tidak bisa memastikan IHSG akan rebound dan membentuk bullish trend pada angka berapa. Yang jelas, pada penutupan sesi I hari ini, IHSG kembali terkoreksi 4 persen lebih. Juga tentang rupiah yang terus melemah meninggalkan angka 14 ribuan sebagai patokan kurs rupiah terhadap dolar. Belum lagi, tentang bagaimana dampak virus ini memukul kinerja sektoral utamanya pariwisata nasional.
Lantas bagaimana menjelaskan pengaruh fenomena yang saya jelaskan di atas terhadap keuangan daerah? Satu hal yang saya selalu ingatkan. Kabupaten Sumbawa adalah daerah yang memiliki ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pusat. Lebih dari 90 persen pendapatan daerah kita berasal dari dana transfer pusat. Dari 1,8 Triliun APBD, hanya 144 Milyar yang berasal dari PAD kita. Akibatnya kondisi makro ekonomi tentu akan sangat berpengaruh pada keuangan daerah kita.
Lebih spesifik, ada dua hal yang perlu kita antisipasi, yang kalau ini terjadi akan membawa tekanan fiskal yang cukup kuat bagi APBD.
Pertama, akibat berbagai stimulus fiskal yang dikeluarkan pusat diantaranya relaxasi PPH pasal 21, 22 dan 25, saya kuatir akan mempengaruhi realisasi target pendapatan APBN dari sektor pajak. Ketika realisasi pajak tidak tercapai, maka tentu akan ada revisi bagi hasil pajak yang diperuntukkan bagi daerah. Nah disinilah letak masalahnya. Target bagi hasil pajak ditetapkan dalam APBD berdasarkan angka yang diberikan pusat pada triwulan IV tahun sebelumnya. Dalam APBD 2020, tentu sudah direncanakan penggunaan dana tersebut untuk berbagai progam dan kegiatan. Jika transfer dana bagi hasil dari pusat dikurangi dari angka awal, maka tidak bisa dihindari akan ada peninjauan kembali dari kegiatan kegiatan yang semula hajatnya dibiayai melalui dana bagi hasil pajak.
Kedua, penanggulangan bencana non alam corona ini akan membawa implikasi pada penambahan belanja yang semula tidak direncanakan. Setiap tahun memang ada disiapkan dana tak tersangka yang hajatnya untuk mengantisipasi kejadian seperti ini. Namun kita tidak bisa memastikan apakah dana ini akan cukup untuk mengcover kebutuhan kita melawan virus ini. Jika tidak, maka kita pasti akan melakukan revisi anggaran. Permasalahannya adalah revisi anggaran yang dilakukan semata-mata untuk menggeser belanja yang sudah ditetapkan diganti dengan belanja penanggulangan corona tanpa menambah target pendapatan daerah.
Tekanan fiskal bagi daerah akibat bencana non alam corona ini sudah di depan mata. Beberapa hari yang lalu, pusat sudah mengeluarkan kebijakan agar Dana Insentif Daerah pada APBD 2020 ini dialokasikan untuk penanggulangan corona. Artinya, penggunaan DID pada APBD 2020 harus segera direvisi. Dan kebijakan ini tidak sekedar perintah, karena pusat telah menetapkan laporan rencana penggunaan DID untuk corona pada APBD 2020 menjadi syarat penyaluran DAU bulan Mei. Semoga badai corona segera berlalu.