DIREKTORI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA (Bagian Empat)

0
1488

II. Dalam Pokok Perkara

1. Latar Belakang Pemberian akses legal pengelolaan hutan kepada masyarakat setempat merupakan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU No.41/1999) yaitu pada Penjelasan Pasal 5 antara lain “… Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa,Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat” (Vide Bukti T-2). Selanjutnya Pemerintah memberikan akses legal kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan dalam lima skema pengelolaan. Yakni,
1. Hutan Kemasyarakatan;
2.Hutan Desa;
3. Hutan Tanaman Rakyat;
4. Kemitraan; dan,
5. HutanHak.
Berdasarkan kelima skema ini, masyarakat dapat melakukan pengelolaan sumber daya hutan Negara secara legal dan mendukung kepastian pengelolaan dalam jangka panjang, yang menjadi salah satu prinsip pengelolaan hutan lestari, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutanjo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (selanjutnya disebut PP No.6/2007) (Vide Bukti T-3).

Pemberian akses sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, dilakukan Pemerintah melalui penerbitan regulasi untuk memperkuat askes legal dimaksud.Salah satunya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (selanjutnya disebut Permen LHK No.P.83/2016)(Vide Bukti T-4)Kebijakan ini menyelaraskan peraturan-peraturan sebelumnya ke dalam satu peraturan yang lebih sederhana, terintegrasi, dan menyeluruh.

Pertimbangan penerbitan Permen LHK No.P.83/2016, salah satunya adalah mendesaknya upaya untuk mempercepat pengurangan kemiskinan,pengangguran dan ketimpangan pengelolaan atau pemanfaatan kawasan hutan.Kebijakan ini merupakan resonansi antara pendekatan pelaksanaan terpusat dan prakarsa yang datang dari masyarakat strata bawah, dukungan dari Pemerintah Daerah, dan juga partisipasi dari masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam Permen LHK No.P.83/2016 ini, Perhutanan. Sosial didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan. dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Adapun maksud dan tujuan Permen LHK No.P.83/2016 ini adalah untuk:
1. Memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan Hutan Adat di bidang perhutanan sosial.
2. Menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan. Permen LHK No.P.83/2016 ini telah mengatur pola Pehutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Salah satu konsideran mengingat pada Permen LHK ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengen Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengeloaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Namun demikian, masih diperlukan penyempurnaan ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itu, diperlukan penerbitan regulasi baru berupa Permen LHK No.P.39/2017. Oleh karena itu di dalam menimbang huruf b dalam Permen LHK No.P.39/2017 telah merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (2) huruf c, yang berbunyi “bahwa tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa sangat tinggi dan sisi lain lahan sangat terbatas sehingga memerlukan pengaturan dan penetapan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan” .

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, perhutanan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani sebagai pelaku utama tinggal di sekitar kawasan hutan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan, sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 Permen LHK P.39/2017. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai utama pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan yaitu pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat, partisipasi masyarakat seperti respek terhadap lingkungan dan fungsi-fungsi terhadap alam, konservasi dan perlindungan hutan, suksesi dalam keseimbangan unsur-unsur alam serta kesadaran pengawetan alam, restorasi dan rehabiliatasi, dan ini sesuai dengan konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999 yang menyatakan, “bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung gugat”. Permen LHK P.39/2017, juga bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat petani yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan hutan Negara di wilayah kerja Perum Perhutani sekaligus menjaga kelestarian sumber daya hutan (azas keadilan dalam peraturan perundang-undangan). Untuk menerapkan azas keadilan, Pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan Negara seluas 12,7 juta ha untuk dicadangkan bagi kegiatan Perhutanan Sosial dan telah ditetapkan oleh Menteri LHK Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dengan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.22/MENLHK/SETJEN/PLA.0/1/2017 dengan luas 13.462.000 hektare (Vide Bukti T-5) dan diperbaharui dengan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 (Vide Bukti P-6). Angka ini di luar wilayah kerja Perum Perhutani, seluas 465,961 ha. Luas total akses kelola hutan sudah dipenuhi sebesar 1,053 juta ha. Kebijakan ini untuk memenuhi azas keadilan untuk 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan; 70% menggantungkan hidup dari hutan. Program ini diharapkan membantu serapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan antarwilayah. Sejak kebijakan perhutanan sosial ini dimplementasikan pada era Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II tahun 2007 hingga periode 2014, realisasi penerbitan hak/izin hanya sebesar 449.104,23 ha. Namun pada Pemerintahan Kabinet Kerja sejak November 2014 hingga Agustus 2017, tercatat 627.968,85 ha, dengan seluruh kepala keluarga terlibat 267.345 KK (Vide Bukti T-7).Hal ini diputuskan dalam Rapat Terbatas tentang Perhutanan Sosial pada tanggal 21 September 2016 di Kantor Presiden Jakarta (Vide Bukti T-8).Dan ini menjadi landasan penerbitan Keputusan Menteri LHK Nomor P.83/2016 pada tanggal 25 Oktober 2016. Saat ini Kementerian LHK telah bersinergi dengan Kementerian Desa, yang mana dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 telah memasukkan skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan Kehutanan, sebagaimana pada lampiran Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 pada halaman 36 s/d 37 (Vide Bukti T-9). Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengundang Menteri LHK, Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri BUMN, Akademisi, LSM, Pakar dan Perum Perhutani membahas Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani, di mana telah ditetapkan 50 desa sebagai lokasi percontohan Hutan Desa antara Kementerian dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi seluas 103.076 ha melibatkan 19.412 KK. Percontohan ini terbagi atas hutan desa (100.348ha, 17.681 KK), hutan kemasyarakatan (871 ha, 331 KK), hutan rakyat (40 ha, 25 KK), hutan adat (899 ha), dan kemitraan (918 ha, 1.375 KK).

Percontohan ini meliputi Provinsi Sumatera Barat 10 desa, Riau 7 desa, Kalimantan Barat 11 desa, Sulawesi Tengah 4 desa, Lampung 1 desa, Jawa Timur 6 desa, Jawa Barat 5 desa, Banten 2 desa, Jambi 8 desa, Sulawesi Selatan 1 desa, dan Nusa Tenggara Timur 3 desa(Vide Bukti T-10).

Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 memaknakan Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Pemanfaatan hutan kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Maksud dan tujuan Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 ini adalah untuk:
1. Memberikan pedoman dalam pelaksanaan perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani.
2. Memberikan IPHPS kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian hutan.

Yang dimaksud dengan IPHPS adalah Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial. IPHPS ini adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan enerji air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sasarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan hutan produksi. Perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani diberikan dalam bentuk IPHPS di hutan lindung dan hutan produksi

Mengacu pada Pasal 4 Permen LHK Nomor P. 39 Tahun 2017, Perhutanan Sosial dapat diberikan pada wilayah kerja dengan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10 %. Selanjutnya, penetapan wilayah kerja ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang membidangi planologi kehutanan. Lebih jelasnya Permen LHK ini mengklasifikasikan bentuk kegiatan usaha sebagai berikut:
1. Usaha pemanfaatan kawasan.
2. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman. Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu ini dilaksanakan di hutan produksi.
3. Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman.
4. Usaha pemanfaatan air.
5. Usaha pemanfaatan energi air.
6. Usaha pemanfaatan jasa wisata alam.
7. Usaha pemanfaatan sarana wisata alam.
8. Usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.
9. Usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.
Sebagaimana ditetapkan di dalam Bab II Tata Cara Permohonan, pemberian IPHPS di wilayah kerja Perum Perhutani dapat diajukan melalui permohonan atau penunjukan oleh Menteri. Permohonan IPHPS diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal yang membidangi planologi kehutanan, Kepala Dinas Provinsi dan Direktur Utama Perum Perhutani. Permohonan wajib didampingi oleh Pokja PPS, lembaga swadaya masyarakat setempat, penyuluh, perguruan tinggi, lembaga penelitian atau pemerintah daerah setempat.Dalam hal lembaga swadaya masyarakat, penyuluh, perguruan tinggi, lembaga penelitian belum menjadi anggota Pokja PPS, maka dilakukan penyesuaian Pokja PPS.Pokja PPS adalah Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial adalah kelompok kerja yang membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.

Permohonan diajukan oleh Ketua Kelompok Masyarakat; Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan; atau Ketua Koperasi setmpat/Koperasi Bina BUMDes. Ketua Kelompok Pemohon atau anggota Kelompok Pemohon merupakan petani penggarap yang tidak memiliki lahan atau petani yang memiliki lahan dibawah atau sama dengan 0,5 Ha. Pihak yang menerbitkan IPHPS adalah Direktur Jenderal atas nama Menteri.

IPHPS dilaksanakan oleh anggota kelompok dengan luas lahan garapan efektif diberikan paling banyak 2 (dua) Ha per Kepala keluarga. Untuk areal yang mempunyai kelerengan lebih dari 40 %, sempadan sungai, sempadan pantai, mata air, kebun bibit, bukit batu dan patroli/setapak dikelola oleh kelompok dan koperasi/koperasi mitra BUMDes. Usaha pemanfaatan dikelola oleh kelompok atau koperasi/koperasi mitra BUMDes serta bukan merupakan lahan garapan anggota, yang dapat diwariskan atas persetujuan kelompok. Anggota Kelompok dilarang memindahtangankan lahan garapan. Dalam hal terjadi pemindahtangan maka lahan garapan dikembalikan kepada kelompok dan koperasi/koperasi mitra BUMDes.

Jangka waktu IPHPS diberikan selama 35 tahun dan dilakukan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. IPHPS bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan. IPHPS dilarang dipindahtangankan, diubah status dan fungsi kawasan hutan, serta digunakan untuk kepentingan lain.

IPHPS tidak berlaku karena jangka waktu izin telah berakhir; izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; atau, izin dikembalikan oleh pemegang izin.Sebelum izin dinyatakan tidak berlaku, terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh Kementerian LHK.Tidak berlakunya izin atas dasar ketentuan tidak membebaskan pemegang izin untuk memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan.

Dari aspek pendampingan, Pemohon IPHPS dapat menunjuk pendamping lembaga swadaya masyarakat setempat yang berbadan hukum. Dalam hal Pemohon IPHPS tidak menunjukkan pendamping, maka Pokja PPS menunjuk pendamping setempat yang berbadan hukum. Pendamping memberikan fasilitasi kepada Pemegang IPHPS antara lain:
1. Penyusunan berkas permohonan.
2. Penyusunan rencana pemanfaatan hutan dan rencana kerja tahunan.
3. Penguatan kelembagaan dan kelola kawasan.
4. Pengembangan ekonomi produksitif.
5. Penyelesaian konflik.
6. Pemulihan kawasan hutan.
7. Perlindungan areal kerja.

Pendampingan dalam melakukan fasilitasi berhak memanfaatkan lahan sebagai demplot untuk percontohan dengan luas sesuai kebutuhan dan kesepakatan kelompok pemegang IPHPS. Sementara itu, pembiayaan untuk penyelenggaraan IPHPS dapat
bersumber dari:
1. APBN Kementerian/Lembaga.
2. APBD.
3. Pinjaman pembiayaan pembangunan hutan.
4. Dana Desa, dana rehabilitasi hutan dan lahan.
5. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk optimalisasi program dilakukan Monev (Monitoring dan Evaluasi).Monitoring dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan. Evaluasi dilaksanakan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Monev dilakukan Direktur Jenderal dengan melibatkan Pokja PPS dan Perum Perhutani, dibantu Tim Kerja yang ditetapkan.

Aspek pembinaan dan fasilitasi, Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan perhutanan sosial, antara lain: penandaan batas areal kerja, pemetaan dengan drone, pendampingan, penyuluhan, dukungan bibit, sarana produksi, bimbingan teknis, sekolah lapang, promosi/pemasaran produk, penelitian dan pengembangan. Selain institusi-institusi di atas, pembinaan dan fasilitasi dapat diberikan oleh Kementerian/Lembaga lembaga keuangan, BUMN/BUMS dalam rangka program pemberdayaan masyarakat.

Permen LHK No.P.39/2017 juga menetapkan hal ikhwal sanksi. Dalam hal hasil evaluasi pemegang IPHPS melakukan pelanggaran berupa pemindahtangan IPHPS kepada Pihak lain dan melakukan manipulasi/pemalsuan dapat dikenakan sanksi pencabutan izin. Dalam hal 3 (tiga) kali berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tidak melaksanakan kewajiban sesuai hasil evaluasi pemegang IPHPS dikenakan sanksi pencabutan.

Di dalam Bab X Ketentuan Peralihan ditetapkan, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah ada sebelum berlakunya Permen LHK No. P.39/2017 ini, yang arealnya sesuai dengan ketentuan disesuaikan dengan Permen ini. PHBM yang telah ada sebelumnya yang arealnya di luar ketentuan dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan Permen LHK No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial.Pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung di luar ketentuan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK P.83/2016.

Mengacu pada Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019, Pemerintah Jokowi menargetkan pelaksanaan reformai agraria 9 juta Hektar dan perhutanan sosial 12,7 juta Hektar. Secara
umum tujuan kebijakan ini adalah untuk mengurangu kemiskinan, menurunkan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan, serta menyelesaikan konflik tenurial. Ciri utama perhutanan sosial adalah masyarakat berhak akan mendapatkan hak untuk mengelola lahan hutan dalam bentuk Hutan Desa (HPHD) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUP-HKm), atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), atau Kemitraan Kehutanan atau Pengakuan dan Perlindungan Hutan Adat/Hutan Hak, sebagaimana dimaksud Pasal 56 Permen LHK No. P.83/2016 yaitu HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR dan areal Kemitraan Kehutanan bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan (ayat (1)), HPHD, IUPHKm, dan IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dipindahtangankan, diubah status dan fungsi kawasan hutan, serta digunakan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan atau di luar rencana. usaha pemanfaatan (ayat (2)), Pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) selain dimasukkan dalam keputusan penerbitan hak pengelolaan atau izin pemanfaatan atau dalam naskah kesepakatan kerja sama juga dibuatkan pernyataan tertulis diatas materai dari pemegang hak atau pemegang izin atau peserta kemitraan (ayat (3)), HPHD, IUPHKm, dan IUPHHK-HTR tidak dapat diagunkan, kecuali tanamannya (ayat (4)), Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat dilarang menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya (ayat (5)). Sedangkan ciri utama reforma agraria adalah tanahnya diberikan menjadi hak milik, dapat diperjualbelikan, dan dapat di agunkan di bank sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (Vide Bukti T- 11). Oleh karena itu sebagai pemegang hak atau izin dapat dilakukan pembinaan oleh Pemerintah dan dapat dibatalkan atau dicabut bila melanggar hak dan kewajiban seperti dimaksud dalam Pasal 57 yaitu, HPHD, IUPHKm, dan IUPHHK-HTR hapus, karena:
a. jangka waktu hak atau izin telah berakhir;
b. hak atau izin dicabut oleh pemberi hak atau pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang hak atau pemegang izin; atau
c. hak atau izin dikembalikan oleh pemegang hak atau pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu hak atau izin berakhir ayat (1), Sebelum hak atau izin hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu dievaluasi oleh pemberi hak atau izin ayat (2), Hapusnya hak atau izin atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membebaskan pemegang hak atau pemegang izin untuk memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota ayat (3). Sedangkan Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pengelolaan Lahan, dapat hapus dengan kompensasi.

Dalam perspektif kebijakan perhutanan sosial, Lahan Hutan Negara boleh dikelola oleh kelompok organisasi masyarakat untuk program “pengentasan kemiskinan” dengan tetap menjaga linkungan. Lahan Hutan Negara di Pulau Jawa yang diberikan izin pemanfaatan kepada rakyat selama 35 tahun adalah semuanya faktual sebagai tanah kosong yang sudah lebih 5 tahun hingga 15 tahun gagal diselesaikan oleh Pihak Perum Perhutani. Sementara itu, kondisi rakyat di sekitar lokasi Lahan Hutan Negara tersebut tetap miskin.

Kebijakan dan program Kementerian LHK memanfaatkan Lahan Hutan Negara yang kosong dimaksud untuk dijadikan perhutanan sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kebijakan dan program perhutanan sosial menerapkan, setiap Kepala Keluarga (KK) menerima maksimal 2 (dua) Ha dan dibantu dengan Perbankan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas, dan “off taker” pembeli hasil. Program perhutanan sosial menjamin hutan akan tertutup baik tapi rakyat mendapat tambahan hasil. Beberapa lahan hutan yang ditugasi pengelolaan kepada Perum Perhutani salah satunya sebagai contoh di lokasi Gunung Jimat dan Desa Gongseng Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah, secara berseries kondisi tutupan hutan berdasarkan Citra Google Maps mulai dari Tahun 2002 terlihat bahwa hanya 10%, pada Tahun 2009 tutupan berhutan berkurang, pada Tahun 2014 sampai Tahun 2016 pada lokasi keseluruhan tidak berhutan (Vide Bukti T- 12). Permen LHK No. 39/2017 pada prinsipnya berupaya menyeimbangkan penguasaan lahan kaum petani miskin yang selama ini hanya rata rata 0,24 ha per KK. Artinya, Permen LHK ini merupakan upaya reforma agraria dalam bentuk pemberian/pembukaan akses legal pada rakyat ke dalam lahan hutan yang dikuasai Negara, dan bukan pemberian tanah kepada rakyat (bagi-bagi tanah) yang merupakan merupakan aset reforma agraria yang dijamin oleh UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Selama 35 tahun sangat memadai untuk usaha ekonomi rakyat. Permen LHK ini bukanlah bermakna “bagi-bagi tanah” seperti yg dituduhkan para
Penggugat di atas. Permen LHK ini justru membuka access rights (hak untuk jalan masuk) bagi kaum petani selama 35 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun sekali.

Permen LHK ini diterbitkan sesungguhnya dimaksudkan untukcmenanam lahan hutan yang sudah kosong lebih dari 5 tahun sampai 15 tahun menjadi produktif. Kalau dibiarkan lahan ini kosong terus, maka akan merugikan bagi keuangan negara, dan bencana hidroorologis (banjir dan longsor pada musim hujan dan kebakaran lahan dan kelangkaan air pada musim kemarau). Permen LHK ini sangat progressif dan berpihak pada pengentasan kemiskinan dan lingkungan. Intinya, kebijakan ini untuk mendukung penghentasan kemiskinan di Pulau Jawa sekaligus melestarikan kondisi lahan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani.

Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK merupakan kebijakan dan program Perhutanan Sosial untuk pengentasan kemiskinan rakyat hidup di sekitar Lahan Hutan Negara. Regulasi atas kebijakan dan program ini tertuang di dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 39/2017. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Dalam perspektif kebijakan perhutanan sosial, Tanah Hutan Negara boleh dikelola oleh kelompok organisasi masyarakat untuk program “pengentasan kemiskinan” dengan tetap menjaga lingkungan. Tanah Hutan Negara di Pulau jawa yang diberikan ijin pemanfaatan kepada rakyat selama 35 tahun adalah semuanya faktual sebagai tanah kosong yang sudah lebih 5 tahun hingga 15 tahun gagal diselesaikan oleh Pihak Perum Perhutani. Sementara itu, kondisi rakyat di sekitar lokasi Tanah Hutan Negara tersebut tetap miskin.

Kebijakan dan program Kementerian LHK memanfaatkan Lahan Hutan Negara yang kosong dimaksud untuk dijadikan perhutanan sosial dalam rangka penghentasan kemiskinan. Kebijakan dan program perhutanan sosial menerapkan, setiap Kepala Keluarga (KK) menerima maksimal 2 (dua) Ha dan dibantu dengan Perbankan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas, dan “off taker” pembeli hasil. Program perhutanan sosial menjamin hutan akan tertutup baik tapi rakyat mendapat tambahan hasil.

Permen LHK No. P.39/2017 pada prinsipnya berupaya
menyeimbangkan penguasaan lahan kaum petani miskin yang selama ini hanya rata rata 0,24 ha per KK. Artinya, Permen LHK ini merupakan akses reforma agraria dalam bentuk pembukaan akses rakyat ke dalam lahan hutan yang dikuasai negara. Selama 35 tahun sangat memadai untuk usaha ekonomi rakyat. Permen LHK ini bukanlah bermakna “bagi-bagi tanah” seperti yg dituduhkan para Penggugat. Permen LHK ini justru membuka access rights (hak-hak untuk jalan masuk) bagi kaum petani selama 35 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun sekali. Selanjutnya, tudingan Permen LHK dimaksud “merusak” lingkungan sangatlah berlebih-lebihan dan keliru. Justru Permen LHK ini diterbitkan dengan maksud untuk menanam lahan hutan yang sudah kosong lebih dari 5 tahun sampai 15 tahun menjadi produktif. Kalau dibiarkan lahan ini kosong terus, maka akan merugikan bagi keuangan negara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here