KINERJA JOKOWI URUS JASA KEUANGAN

0
1116

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS*)

Di samping urusan keuangan negara dan moneter, Presiden Jokowi juga harus menyelenggarakan urusan jasa keuangan. Dari sisi kelembagaan, terdapat badan khusus mengurusi masalah2 jasa keuangan, yakni lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Studi ini bukan mengevaluasi kritis pemimpin OJK, tetapi Presiden Jokowi urus jasa keuangan.

Sebagaimana laporan studi2 kinerja Jokowi sebelumnya, studi ini juga menggunakan janji2 lisan kampanye Pilpres 2014 sebagai standar kriteria evaluasi kritis. Antara lain:

1.Membuat Bank Tani untuk mengurangi impor pangan. Sudah 3,5 tahun Jokowi jadi Presiden, Bank Tani masih belum terbentuk. Bahkan, impor pangan terutama beras jalan terus dan meningkat. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
2. Membatasi Bank Asing. Sebuah sumber menyajikan  data statistik perbankan Indonesia (SPI) Februari 2017. Jumlah Bank asing tercatat 9 Bank. Jumlah kantor Bank asing 89 unit. Untuk bank campuran,  12 Bank dengan jumlah kantor 355 unit. Realitas obyektif, banyak Bank asing  memasuki daerah  di Indonesia.Bank asing sangat mudah membuka cabang. Di lain pihak, selama ini Indonesia sulit untuk membuka cabang Bank di luar negeri. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
3.Membentuk Bank Khusus Nelayan. Sama dengan Bank Tani, sudah 3,5 tahun berkuasa Jokowi belum juga membentuk Bank Nelayan. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
4.Akan berbicara terkait Kasus BLBI. Hingga 3,5 tahun berkuasa Jokowi justru menghindar berbicara ttg Kasus BLBI. Hanya janji doang. Ingkar janji. Kinerja buruk.

Standar kriteria evaluasi kritis berikutnya bersumber dari janji2 tertulis kampanye Pilpres 2014 tertuang di dalam dokumen NAWA CITA. Yakni:

1. Pembatasan penjualan saham Bank nasional kepada asing. Realitas obyektif menunjukkan, tidak ada ketentuan pembatasan penjualan saham Bank kepada asing. Bahkan, kondisi era Jokowi kian bebas dan beberapa Bank BUMN dipaksa untuk menerima utang dari negara lain atas kepentingan pembangunan infrastruktur.
2. Pengaturan lebih ketat utk menghidarkan konglomerasi tumpang tindih antara sektor keuangan dengan sektor riil dalam hal kepemilikan Bank. Kita masih membutuhkan Pemerintah membuktikan realisasi janji ini.
3. Azas resiprokal perbankan Indonesia harus segera diimplementasikan untuk negara-negara memiliki Bank di Indonesia. Upaya Pemerintah baik secara diplomasi maupun bukan, belum ada bukti. Pemerintah lebih melihat ke dalam, kurang keluar.
4. Dukungan kepada perbankan nasional untuk mengembangkan sayapnya ke luar negeri terutama di
ASEAN. Masih janji belaka. Jokowi belum melaksanakan janji ini.
5. Mengembangkan sistem informasi dan administrasi membuat micro finance menjadi bankable. Kita perlu data, fakta dan angka resmi Pemerintah atas pelaksanaan janji ini.
6. Mengambil sikap zero toleran terhadap tindak
kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang. Belum ada data, bukti dan angka Pemerintah sudah bekerja hingga mencapai zero toleran. Amat langka, ada pengadilan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang.
7. Memperkuat satuan tugas di lingkungan POLRI dan Kejaksaan yang terlatih secara khusus dan professional dalam melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan perbankan dan pencuctan uang. Kita perlu informasi resmi adanya kegiatan perkuatan satuan tugas dimaksud.

Sumber standar kriteria lain adalah RPJMN 2015-2019. Sasaran sektor jasa keuangan antara lain:

1. Meningkatnya ketahanan/stabilitas dan daya saing sektor keuangan melalui sistem keuangan sehat, mantap dan efisien.
2. Percepatan fungsi intermediasi dan penyaluran dana masyarakat utk mendukung pembangunan dari masyarakat/swasta.
3. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, peningkatan akses kepada lembaga jasa keuangan dlm rangka meningkatkan sektor keuangan inklusif.
4. Penurunan transaksi keuangan terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui pengungkapan kasus terkait tindak pidana tsb.
5. Peningkatan kapasitas PPATK dan terpenuhinya produk hukum menunjang pemberantasan tindak pidana tsb di Indonesia.

Semua rencana kegiatan versi RPJMN terkait jasa keuangan ini, masih perlu data, fakta dan angka resmi Pemerintah yang dipublikasikan.

Kemudian, Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia 2015 – 2019 disusun OJK bisa juga digunakan sbg sumber standar kriteria evaluasi kritis kinerja Jokowi urus jasa keuangan. Master Plan ini memiliki tiga fokus utama, yakni

1. Mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional (kontributif)
2. Menjaga stabilitas sistem keuangan sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan (stabil), dan mewujudkan kemandirian finansial masyarakat.
3. Mendukung upaya peningkatan pemerataan dalam pembangunan (inklusif).

Rencana kegiatan OJK ini dapat dievaluasi berdasarkan kondisi real dunia jasa keuangan, seperti perbankan dan non perbankan. Sebagai contoh, kini ada 15 Bank bermasalah. Pd April 2018 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan 15 bank (berpotensi) gagal berdampak sistemik. Menurut Fuad Bawazier, Mantan Menkeu, indikasi adanya permasalahan dalam kredit perbankan terlihat dari turunnya laba bank dan naiknya NPL atau kredit macet. Persoalannya apakah OJK selaku pengawas perbankan sudah melakukan langkah langkah pencegahan dan penindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap Bank2 sampai memasuki kondisi (berpotensi) gagal berdampak sistemik. Jangan sampai mengulangi kesalahan BI (selaku pengawas bank) pada saat Krismon BLBI 1997/1998 dan Bank Century 2008 justru menfasilitasi Bank bank nakal.

Di lain pihak Jokowi sendiri mengkritik pelaku jasa keuangan. Dilaporkan Media Indonesia (18/1/2018), Jokowi meminta industri jasa keuangan tetap memacu laju pertumbuhan bisnis. Jangan wait and see. “Sering pengusaha kalau saya tanya kok tidak berani ekspansi atau investasi? Jawabannya ‘Pak ini kan tahun politik dan ada pilkada’. Memang setiap tahun di Indonesia itu ada pilkada. Apa mau menunggu terus. Biarin pilkada ya politik dan ekonomi tetap jalan,” kata Jokowi.

Selanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kalau tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia hingga saat ini masih sangat rendah (22/12/2015).Ada tiga sebab. Pertama, kurangnya edukasi diterima masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat menjadi korban penipuan investasi illegal umumnya karena kurang paham atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai investasi benar dan legal.
Kedua, regulasi atau business process ‘menghambat’ akses masyarakat itu. Misalnya sejumlah petani saat ingin melakukan pinjaman ke lembaga keuangan atau bank. Sebagian besar pinjaman itu terkendala karena alasan tidak memiliki jaminan sebagai agunan kepada bank.Ketiga, jarak antara masyarakat dengan lembaga keuangan sulit dijangkau. Lokasi bank lebih banyak di pusat kota sedangkan masyarakat membutuhkan layanan keuangan berada di daerah.

Fakta berikut ini menunjukkan kondisi BUMN Bank era Jokowi menjadi penghutang dana negara asing, terutama Cina. Seorang ekonom kritis di Media Sosial mendata, pd 2016, tiga bank BUMN (Bank Mandiri, Bank BNI, dan bank BRI ) “dipaksa” mengambil utang dari China untuk membiayai taipan Indonesia yang tengah sekarat. Pinjaman dari China  Development Bank (CDB) dibagi bagikan kepada taipan dan oligarkhi penguasa nasional.

Kondisi perbankan Syariah juga melambat tak sesuai mimpi Jokowi. CNN Indonesia 03/03/2018 membeberkan, Jokowi ambisi
menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah dunia.
Jokowi boleh saja punya mimpi ini. Namun, keinginan Jokowi tsb masih jauh panggang dari api. Pangsa pasar perbankan syariah, menjadi salah satu tulang punggung industri keuangan syariah selama ini, tak banyak bergerak. Data Statistik Perbankan Syariah menunjukkan, hingga akhir 2017, total aset perbankan syariah baru mencapai Rp.424,181 triliun atau 5,97 % dari total aset perbankan. Pangsa pasar meningkat dibandingkan 2016 hanya 5,5 %.
Pengamat Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fak. Ekonomi Bisnis UI Yusuf Wibisono menjelaskan, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia sudah jauh tertinggal di banding negara muslim lain. Saat ini, pangsa pasar perbankan syariah di Malaysia sudah mencapai sekitar 20 %. Arab Saudi bahkan sudah mencapai sekitar 50 %.

Telah disajikan di atas antara lain janji2 lisan, penilaian kondisi obyektif pelaku BUMN perbankan, dan kondisi perbankan Syariah. Penyajian dimaksud membuktikan kinerja Jokowi masih tergolong buruk.

Namun, Kita belum bisa bilang, kinerja Jokowi buruk atas janji2 tertulis (NAWA CITA). Masih harus tunggu data, fakta dan angka resmi Pemerintah. Juga berlaku atas RPJMN dan Master Plan OJK. Kita juga masih menunggu data, fakta dan angka resmi Pemerintah.
Rezim Jokowi masih punya tempo 1,5 tahun lagi untuk membuktikan kondisi kinerja baik urus jasa keuangan. Mari kita tunggu ! (The END).

———————-
*NSEAS: Network for South East Asian Studies (Jaringan Studi Asia Tenggara)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here