OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
(KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT)
Beberapa hari belakangan ini, banyak pihak mempersoalkan anggaran sektor pertanian yang dinilai semakin menurun. Anggota Komisi 4, terlihat cukup getol menyuarakan masalah ini. Begitu pun dengan para pemerhati pembangunan pertanian, organisasi petani, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tentu dari kalangan petani itu sendiri. Semua sepakat, mestinya Pemerintah semakin menunjukkan ksberpihakannya kepada sektor pertanian. Salah satunya, tercermin dari besarnya pagu anggaran yang diberikan, baik APBN ataupun APBD.
Anggota Komisi 4 DPR RI, malah mempertanyakan, ada apa sebetulnya dengan dunia pertanian di negeri ini ? Mengapa kucuran anggaran untuk sektor pertanian semakin turun. Bukankah semua pihak memberi apresiasi atas keperkasaan pertanian tatkala Covid 19 menyergap bangsa kita ? Semua pakar juga memahami betapa kokohnya sektor pertanian dalam menjawab tantangan yang menghadang. Saat Covid 19 menyerang, hampir semua sektor mengalami pertumbuhan negatif. Hebatnya, sektor pertanian tetap mampu tumbuh positip.
Keberadaan pertanian sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa, tentu tidak terlepas dari banyaknya warga bangsa yang berkiprah dan terlibat dalam dunia pertanian. Sebagai sumber penghidupan dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat, sektor pertanian tetap menjadi kekuatan guna menyambung nyawa kehidupan. Pertanian dalam arti luas inilah tumpuan kehidupan masyarakat, khususnya dalam menyediakan bahan pangan yang dibutuhkan. Bayangkan, apa jadinya jika tidak ada pertanian.
Sebagian besar warga bangsa, kini masih menggantungkan diri terhadap bahan pangan, khususnya beras. Kemauan politik untuk mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap beras, sebetulnya telah dikumandangkan sejak lama. Berbagai program dan kegiatan sudah dilakukan. Sebut saja kebijakan penganekaragaman pangan. Ironisnya, sekalipun telah banyak anggaran dikucurkan untuk meragamkan pola makan masyarakat, namun ketergantungan terhadap nasi, masih terus berlanjut.
Sekarang ini, khususnya seusai diterbitkannya Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, soal pertanian dan pangan, ditangani oleh kelembagaan Pemerintah yang berbeda. Soal pertanian, terutama dalam meningkatkan produksi hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada, ditugaskan Kementerian Pertanian untuk menggarapnya. Sedangkan urusan pangan dibebankan kepada Badan Pangan Nasional. Dalam pelaksanaan di lapangan dituntut untuk bersinergi dan berkolaborasi.
Jujur harus diakui dengan bubarnya Dewan Ketahanan Pangan sekitar 3 tahun lalu, simpul koordinasi pembangunan pertanian dan pembangunan pangan, semakin susah diwujudkan. Masing-masing Kementerian/Lembaga seperti yang asyik sendiri. Padahal, kita memahami, yang namanya pertanian dan pangan merupakan sektor pembangunan multi-sektor. Tanpa sinergitas, kolaboratif dan koordinatif, kita akan kesulitan untuk menerapkan kebijakan di lapangan.
Sesungguhnya ada tiga hal penting terkait dengan pembangunan pertanian dan pangan, yakni sisi produksi, sisi pasar dan sisi konsumsi. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Jadi, sangat keliru jika dalam perumusan strategi dan kebijakan, kita membuat batas antara sisi-sisi diatas. Mestinya, antara produksi, pasar dan konsumsi, mampu dikemas ke dalam pola pikir yang sama, sehingga jelas, mana yang menjadi titik kuat dan mana yang menjadi titik tekan dalam pelaksanaannya di lapangan.
Adanya El Nino, setidaknya mempengaruhi dua kondisi yang muncul jadi soal serius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pertama adalah terganggunya ketersediaan pangan nasional yang dicirikan terjadinya penurunan produksi padi secara nasional. Menteri Pertanian sendiri meramalksn, karena El Nino, kita akab mengalami gagal panen dan kehilangan produksi gabah kering panen sebesar 1,2 juta ton.
Kedua, berkaitan dengan ugal-ugalannya harga beras di pasaran. Kenaikan harga beras yang terjadi, tentu saja merisaukan banyak pihak. Pemerintah sendiri, terlihat seperti yang kesulitan untuk menurunkan harga beras ini. Sekalipun bermacam cara telah ditempuh seperti menggelar operasi pasar murah, harga beras di pasaran tetap merangkak naik. Serunya lagi, harga gabah pun tak mau kalah dengan harga beras. Di berbagai sentra produksi harga gabah naik cukup signifikan, bahkan menembus angka Rp. 7000,- per kilogram nya.
Dihadapkan pada kedua masalah tersebut, maka dapat disimpulkan kondisi pertanian dan pangan sekarang, sedang berada dalam posisi tidak baik-baik saja. Itu sebabnya, Pemerintah tidak boleh lagi memandangnya dengan setengah hati. Pemerintah, baik Pusat atau Daerah perlu memberi dukungan politik anggaran yang wajar. Anggaran untuk pertanian, ada baiknya dikaji ulang. Fakta yang ada memperlihatkan pagu anggaran untuk pertanian, umumnya untuk tingkat Kabupaten/Kota rata-rata dibawah angka 3 % dari APBD nya.
Persoalan ini diperparah dengan menurunnya pagu anggaran pertanian dari waktu ke waktu. Angkanya yang relatif kecil ditambah dengan menurunnya pagu untuk setiap tahunnya, lengkap sudah langkah guna semakin meminggirkan pertanian dari panggung pembangunan. Suasana seperti ini, tentu harus segera di stop. Keberadaan sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi bangsa, perlu diingatkan kembali kepada para penentu kebijakan. Tanpa peran sektor pertanian, bagaimana nasib bangsa kita, ketika Covid 19 menyergap.
Kesungguhan Presiden Jokowi dalam mewujudkan pembangunan pertanian, sebaiknya didukung para Pembantunya lewat kerja keras dan berpikir cerdas. Apa yang diminta Presiden, jangan terlalu lama dibiarkan, seolah tidak punya kemampuan untuk mencarikan solusinya. Sebut saja, keinginan Presiden untuk melahirkan harga beras yang wajar. Hingga sekarang, keinginan Presiden itu belum terjawab. Malah yang terjadi, harga beras di pasar tetap meningkat.
Catatan kritis yang penting untuk dibahas lebih lanjut adalah sampai sejauh mana Pemerintah akan memperlihatkan keberpihakannya terhadap sektor pertanian, dilihat dari politik anggaran yang dikucurkannya ? Apakah dengan semakin memprihatinkannya produksi padi yang relatif menurun dari waktu ke waktu akan dijawab dengan semakin menurunnya anggaran sektor pertanian ? Ah, rasanya tidak. Justru dengan adanya fenomena yang demikian, Pemerintah perlu berpikir ulang, jika masih ingin menurunkan pagu anggaran sektor pertanian.
Ramainya para Wakil Rakyat di Komisi 4 DPR RI, yang bicara soal terus menurunnya pagu anggaran pertanian dalam APBN, sebaiknya aspirasi yang disampaikan ini patut dicermati dengan sungguh-sungguh oleh segensp komponen bangsa. Para anggota DPR tentu tidak akan bicara seperti itu, jika kondisinya sedang baik-baik saja. Mereka mengangkat isu ini, karena berdasar pengamatan yang dilakukan, terekam beberapa masalah yang butuh penanganan dengan segera.
Semoga suara para Wakil Rakyat diatas, akan mampu memberi angin segar bagi politik anggaran sektor pertanian ke depan.