Sri-Bintang Pamungkas
Menjelang Lebaran pada bulan Januari 1997, yaitu setelah jatuh Vonis 34 bulan pada Mei 1996 karena menyebut Soeharto Diktator di Jerman, saya masih terus melawan Soeharto. Kami mengumumkan berdirinya Partai Uni-Demokrasi Indonesia, lalu aku dan Julius Usman menantang Soeharto untuk sebuah Pemilihan langsung oleh rakyat: Aku Capresnya dan Julius Cawapresnya. Kami pun mengirim Kartu Lebaran Politik ke seluruh Indonesia, termasuk kepada para Anggota DPR/MPR-RI serta para Menteri dan Pejabat Pemerintah Daerah. Isinya: 1. Menolak Pemilu 1997; 2. Menolak Soeharto menjadi Calon Presiden Tunggal; dan Menyiapkan Tatanan Baru Republik Indonesia Pasca 1998.
Seluruh Republik menjadi “gègèr”. Maret 1997 aku ditangkap bersama Julius Usman, Wakil Ketua PUDI dan Saleh Abdullah, Sekjen PUDI. Kami disekap selama dua bulan di Rutan Kejagung untuk diadili dengan tuduhan melakukan tindakan Subversif, dan dengan ancaman hukuman mati. Sementara awal Mei itu aku sudah masuk Cipinang… Aku pun dipecat dari PNS dan Dosen Universitas Indonesia.
Sampai sekarang, dalam sejarah Dosen-dosen PNS, saya adalah satu-satunya Dosen dan sekaligus Aktivis melawan Rezim yang khas dan unik, tanpa ada duanya, hampir dalam banyak hal. Lulus dari ITB, saya menjadi PNS dan Dosen UI mulai 1972. Sepulang dari AS 1984, saya menyerang kebijakan Rezim Soeharto dalam Pembangunan Perekonomiannya.
Tahun 1992 saya menjadi anggora DPR/MPR-RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai satu-satunya PNS yang bukan Golkar. Setelah menyerang kebijakan Monoloyalitas kepada Golkar, karena kemenanganku dalam Kampanye Pemilu mewakili Jakarta dipersulit, Mendiknas Fuad Hassan (juga dari UI) akhirnya mengatakan: “Let him go!”. Maka dilantiklah aku sebagai anggota DPR-RI dan mendapat ucapan “selamat” dari Soeharto dan Try Sutrisno. Februari 1995 aku di- recall oleh Pimpinan PPP karena dianggap melawan Soeharto…
Karena itulah saya berangkat ke Jerman memenuhi undangan dari beberapa universitas di sana. Saya tidak perlu meminta ijin kepada Rektor UI, Dekan atau siapa pun untuk masuk PPP dan menjadi anggota DPR, serta pergi ke Jerman, karena itu adalah hak setiap WNI. Kalau meminta ijin pasti ditolak… Karena itu, ketika saya dituduh berbuat makar, menghina Soeharto, lalu membela diri, bahkan kemudian dipenjara dan dipecat dari UI, saya tidak pernah melibatkan UI.
Selama melawan Soeharto, baik ketika masih aktif sebagai Dosen, maupun selama berkampanye untuk PPP, menjadi anggota DPR/MPR-RI, selama diadili di PN Jakarta Pusat, bahkan setelah Soeharto jatuh, saya selalu bersama para Mahasiswa dan Aktivis hampir di seluruh Indonesia…
Tidak ada seorang Dosen PNS pun di Indonesia yang berceramah, berdiskusi, berbincang, berorasi, berdialoh, berunjukrasa di jalanan, berseminar dalam berbagai pertemuan bersama Mahasiswa dan Aktivis sebanyak yang saya lakukan.., bahkan dari Sabang sampai Merauke layaknya…
Saya ke Aceh, ke Universitas Syah Kuala, meskipun hanya di tempat parkir, ke USU, ke Nomensen, ke Medan Area, ke Universitas Riau di Pekanbaru, juga di Kepri; di Unand; di Sriwijaya; di Uni Muhammadiyah Palembang; di Uni IBA; dan di Unila.
Juga di Uni Mulawarman, Samarinda; di Uni Tanjungpura, Pontianak; di Uni Lambung Mangkurat, Banjarmasin; Uni Sam Ratulangi, Menado; bahkan juga di Talaud; di Universitas Palu; di Tadulako; di Uni Hasanuddin, di Universitas Muslim Indonesia, Makasar; di Uni Pattimura, Ambon; Uni Udayana di Denpasar; di Universitas Mataram Lombok, dan di Jayapura, sekalipun tidak sempat ke Universitas Cenderawasih… tapi mahasiswa datang memberi kenang-kenangan sepasang Kampak Batu.
Tentu ITB, sebagai Almamater, saya kunjungi beberapa kali; juga Unpad dan Unpar; Unpas, Unisba; IKIP Bandung; IPB; Uni Pakuan; Uni Ibnu Khaldun di Bogor; juga Universitas Tirtayasa di Serang; Univetsitas Garut, Unswagati di Cirebon; Uni Sudirman di Purwokerto; UGM; UII; Uni Yana Badra; Uni Taman Siswa; Undip; Uni Veteran; Uni Sultan Agung; Uni 11 Maret; ITS; Unair; Unibraw; Universitas Muhammadiyah Malang; dan Universitas di Sampang, Madura.
Yang di Jakarta sendiri tentu tidak tertinggal, seperti Uni Nasional; Pancasila; IAIN Jakarta; Atmajaya; Jayabaya; Trisakti; Uni 17 Agustus; Uni Tarumanegara; Uni Mercu Buana; Uni Kristen Indonesia; IKIP Jakarta; Uni Jakarta; Uni Islam Asyafiiyah; dan Uni Tantular.
Syahdan… Pada tanggal 16 Mei itu, beberapa Gurubesar Universitas Indonesia, dipimpin sendiri oleh Rektor UI, Asman Budi Santoso, datang menemui Presiden Soeharto di Istana Cendana. Ikut serta adalah ketiga Wakil Rektor bersama Miriam Budiardjo. Mereka mau menyampaikan hasil Simposium tentang Tatanan Masa Depan Indonesia, yang diselenggarakan pada 14 Mei oleh UI… Tentu Simposium ini tidak lepas dari Pikiran saya dan kawan-kawan PUDI waktu menyusun Kartu Lebaran Politik lebih setahun sebelumnya.
Miriam, Gurubesar FISIP-UI, yang adalah adik Poppy Sjahrir, isteri Sutan Sjahrir, yang juga adik Sudjatmoko, Mantan Dutabesar Indonesia di AS yang pertama di Era Soeharto, orang-orang Ningrat dari Jawa Timur, membuka suara:
“Bapak…, saya juga dari Angkatan 45….”
Tentulah maksud Miriam mau mengatakan, bahwa dia pun mempunyai pengalaman dan kontribusi sebagai pejuang kemerdekaan. Kemudian lanjutnya:
“Seandainya ada kalimat yang menyakiti Bapak, saya minta maaf. Saya ingin membacakan pernyataan para dosen UI: Setelah memperhatikan aspirasi rakyat serta mengingat situasi yang semakin memburuk dan tidak terkendalikan lagi, maka kami, para staf pengajar Universitas Indonesia, dengan ini menyatakan: Satu, menyambut baik kesediaan Bapak untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Dua, demi persatuan dan kesatuan bangsa, menyerukan agar kita semua menegakkan ketenteraman dan ketertiban. Jakarta, 14 Mei 1998. Atas nama Staf Pengajar Universitas Indonesia.”
Sang Presiden mencoba menahan diri… Selain mengangguk-anggukkan kepalanya, Pak Harto tidak mampu menjawab dan menyampaikan sepatah kata pun. Kiranya Pak Harto pun tidak mau berdebat dengan seorang wanita Pejuang 45 seperti Miriam. Tapi, betapapun akhirnya keluar juga dari mulutnya, pendek saja:
“Ya! Saya sudah mendengar…”.
Lalu Presiden menengok ke arah Sa’adilah Mursyid, Menteri Sekretaris Kabinet; maksudnya agar para tetamunya diantar keluar ruang. Setelah mengucapkan “terimakasih” para Gurubesar UI itu pun pulang… Sepekan kemudian, Soeharto pun akhirnya jatuh. Aku kembali menjadi Dosen UI
Hatta…. 20 tahun kemudian… Universitas Indonesia tidak lagi sehebat dulu itu. Mereka memelihara dan melindungi seorang macam Ade Armando, sebagai Dosen Tetap di FISIP-UI. Tentulah Ade bukan salahsatu mahasiswa murid Prof. Dr. Miriam Budiardjo. Ade Armando mengolok-olok Islam dan menuduh macam-macam kepada beberapa Tokoh Islam. Tapi FISIP-UI membiarkannya. Juga Rektor dan para Pimpinan UI lainnya. Mereka tahu, pikiran-pikiran Ade Armando sejalan dengan pikiran Rezim Jokowi. Justru mahasiswa yang kontra rezim malah dihukum.
Si Armando yang tidak paham UUD 1945, Pancasila dan Cita-cita Proklamasi itu menjadi jumawa dan kehilangan kendali. Tiba-tiba saja dia membaur dengan Gerakan Mahasiswa, mengira dirinya adalah aktivis dan dosen yang membawa pikiran-pikiran kerakyatan. Dia salah kira… dan entah datangnya adzab dari mana, tiba-tiba saja orang mulai mengeroyoknya. Di antara Aksi Mahasiswa dan Aktivis yang sedang berunjukrasa melawan Rezim dia dipukuli orang. Bahkan digebugi, ditendangi, dan ditelanjangi. Lalu Dekan FISIP-UI tiba-tiba mulai angkat bicara, bahwa para pengeroyok Ade Armando, si Pengajar UI, perlu diproses hukum.
Saya malu… Bung, saya juga dari UI… saya juga pejuang demi Rakyat, Bangsa dan Negara. Saya malu UI memelihara makhluk seperti Ade Armando. Saya malu UI menjadi pendukung Rezim Jahat seperti ini.
Seandainya seorang Dosen macam Ade ini tidak dilindungi, tidak dipelihara tanpa ada peringatan dan ancaman dari Pimpinan UI, maka kejadian memalukan itu tidak akan terjadi.
Dosen macam ini melanggar komitmen universitas di mana saja di Dunia, terhadap hari depan manusia dan kemanusiaan, serta planet kita ini. Dia seharusnya ditolak menjadi dosen. Memang kekacauan tidak hanya di UI… Pengajar dan Ahli Hukum dan Pancasila macam Prof. Dr. Pierre Suteki justru dihukum non-aktif oleh Universitas Diponegoro, karena Suteki berbeda pikiran dengan Rezim Jokowi.
Sungguh memalukan… Tidak hanya UI yang tunduk kepada Rezim… Juga ITB yang Rektornya tidak bisa membedakan Radikalisme yang merawat dan memelihara Bumi dengan Radikalisme yang merusak Bumi. Juga Pimpinan UGM yang tidak berani mengatakan Jokowi adalah lulusan atau bukan lulusan UGM… Sementara Rektor-rektor IPB, Unpad, ITS, Unair, Unibraw dan lain-lain juga diam seribu-bahasa melihat Negaranya porak-poranda.
Jokowi memang tidak sebesar Soeharto… Tetapi dia sungguh menjadi besar kepala.
Jakarta, 15 April 2022
SBP