Sri-Edi Swasono
Masalah pindahnya Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur mendominasi pemberitaan-pemberitaan di media massa dan media sosial. Kita bertanya, mengapa harus pindah? Apa urgensinya? Apa untungnya dalam tuntutan nasional saat ini agar kita ber-ambeg parama arta. Bukankah kita sedang kobol-kobol, hutang kita makin menumpuk di luar toleransi?
Demikian pula, tidak kurang-kurangnya para ekonom cendikia kita telah berulangkali menyampaikan kecemasannya mereka mengutarakan bahwa pindah Ibu Kota Negara ke Kalimantan adalah tidak layak, tidak laik dan merongrong keuangan negara secara berlebihan terutama membebani APBN.
Demikian pula, sudah sejak beberapa tahun belakangan ini, para tokoh cendikiawan kita mewaspadai ancaman imperialisme dari Utara. Pindah Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur ibarat “Ulo marani gebug”, ular mendekati pemukul. Kewaspadaan ini makin meningkat dengan berbagai fakta empirik. Kita memperoleh justifikasi faktual.
Setidaknya telah ada pertemuan dari kelompok-kelompok penggugat terhadap UU IKN, gugatan-gugatan tentu tertuju terhadap Wakil-Wakil Rakyat, khususnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk judicial review. Masing-masing kelompok penggugat mengajukan tokoh-tokohnya yang menentang ide absurd Ibu Kota Negara pindah ke Kalimantan Timur, membentuk dan mengadakan Rapat Komite Penggugat melalui zoom meeting yang menggelora. Tokoh-tokoh itu mengetengahkan tanggungjawab intelektualnya.
***
Saya sendiri dalam Rapat Komite Penggugat dari salah satu kelompok penggugat, telah menyampaikan pandangan saya dari segi historis-metafisis sebagai berikut:
Saya kemukakan dengan tegas, bahwa ruh Indonesia itu adalah Jakarta. Kita ingat setelah Kebangkitan Asia 1905, yaitu ketika tentara Jepang dapat memporak-porandakan pasukan Rusia di Tsushima, maka tiga tahun kemudian terjadi pula Kebangkitan Nasional Indonesia (20 Mei 1908) dengan lahirnya Boedi Oetomo, di Jakarta. Selanjutnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dideklarasikan juga di Jakarta. Kita mencatat pula, demi mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia, kita membentuk BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan bersidangnya pun juga di Jakarta. Demikian pula lahirnya Pantja Sila tahun1945 juga di Jakarta. Kemudian Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 diproklamirkan juga di Jakarta. Lalu ditetapkannya Konstitusi Indonesia (UUD 1945), pada 18 Agustus 1945 pun juga di Jakarta. Jangan lupa penyerahan Kedaulatan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.H.J. Lovink kepada Sri Sultan HB IX (diturunkanya bendera Merah-Putih-Biru dan dikibarkannya kembali Sang Saka Merah-Putih) 1949, juga di Jakarta. Historis-magis, didirikannya Monumen Nasional/MONAS, yang boleh kita sebut sebagai ” The Indonesia’s Statue of Liberty”, ya lagi-lagi di Jakarta.
Jadi Jakarta adalah ruh-nya Indonesia. Ibu Kota Negara kita adalah Jakarta.
Memindah Ibu Kota Negara ke Kaltim merupakan keputusan yang “tidak bijaksana”, sekaligus juga keliwat “nglegeno”, tidak berhiaskan kemandragunaan bangsa, alias mengabaikan perhitungan-perhitungan historis-metafisis Bangsa Indonesia, merupakan suatu absurditas in optima forma.
***
Kebetulan saya adalah orang Tamansiswa. Bagi orang-orang bijak dari kalangan Tamansiswa, maka secara historis-metafisis Tamansiswa ya harus “Berpusat Di Yogyakarta”, dan terpaku dalam logo Tamansiswa. Tidak bisa Pusat Tamansiswa dipindah ke tempat lain, ke kota mana pun, tidak bisa Ibu Kota Negara semena-mena dipindah ke tempat lain.
Ruh Tamansiswa di Yogyakarta. Ruh Indonesia di Jakarta.
M E R D E K A !
Penulis adalah Prof. Dr. Sri Edi Swasono,
Guru Besar UI
Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, tinggal di Jakarta.