Butir-Butir Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Hukum Administrasi Negara Universitas Cokroaminoto: Ir. Sri-Bintang Pamungkas, MSISE, PhD (Bagian 1)

0
585

MENEGAKKAN KEADILAN DAN KEBENARAN
SERTA
MENYELENGGARAKAN
KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN
BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Oleh: Ir. Sri-Bintang Pamungkas, MSISE, PhD

I. Berlakukan Kembali UUD 1945 Asli:

1. UUD Hasil Sidang MPR 1999-2002 itu adalah UUD yang disengaja untuk mengubah atau mengganti UUD-1945; bukan sekedar hasil Amandemen.
2. Perubahan ini disponsori oleh Negara-negara Barat seperti yang terjadi kemudian di Afghanistan, Irak, Mesir, Libya, tetapi gagal di Suriah, dengan alasan terjadi Kediktatoran.
3. Penggantian ini dibantu oleh para pengkhianat di dalam negeri, khususnya dari kelompok Mafia Cina yang ingin mengembalikan kedudukannya seperti di masa Penjajahan Belanda, lebih tinggi dari Kelompok Pribumi Orang Indonesia Asli.
4. PR Pengkhianat di dalam Negeri ini bersama-sama Negara-negara Asing bermaksud mengubah Bangsa Indonesia menjadi seperti Bangsa Barat atau Bangsa Cina, karena mengira bahwa dengan perubahan itu Indonesia akan menjadi maju seperti mereka. Tentulah usaha mereka akan sia-sia, karena kami adalah Bangsa Indonesia yang berbeda. Contoh Kongkrit adalah di Afghanistan.
5. Perubahan yang terjadi meliputi Pasal 1 Ayat 2 tentang MPR yang berakibat hilangnya Daulat Rakyat; Pasal 6 tentang Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi Indonesia Asli; Pasal 16 tentang Dewan Pertimbangan Agung yang menjadi hilang; Pasal 33 dan Pasal 34 yang ditambah-tambah sehingga Ekonomi Kerakyatan berubah menjadi Ekonomi Liberal dan Kapitalistik, dan hilangnya asas Kekeluargaan menjadi asas Individual; lalu ada perubahan tentang Kewenangan Presiden yang digantikan oleh DPR; terakhir adalah perubahan dalam kekuasaan Kehakiman.
6. Tentang Presiden/Wakil Presiden harus orang Indonesia Asli, itu terjadi di mana-mana di Dunia, termasuk Eropa dan Amerika Utara. Setelah 230 tahun merdeka, baru AS mempunyai seorang Obama yang berkulit Hitam, sekiranya orang Bule dianggap sebagai Orang Asli Amerika, padahal yang Asli Amerika adalah Orang Indian.
7. Penggantian “Orang Indonesia Asli” ini sengaja dilakukan untuk membenturkan Pribumi dan Non-Pribumi dalam setiap Pemilihan Presiden. Benturan akan selalu terjadi mengingat hampir semua orang Non-Pribumi bersikap segregatif dan diskriminatif.
8. Mungkin untuk jabatan Walikota, Gubernur dan setinggi-tingginya Menteri bisa diberikan kepada mereka yang bukan Orang Indonesia Asli.
9. Penggantian UUD tersebut berakibat rusaknya tatanan Negara Republik Indonesia tentang Kekuasaan Negara dalam bidang Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang Pancasilais dan berpegang pada asas Kekeluargaan.
10. Dengan demikian UUD-1945 yang asli harus segera diberlakukan kembali.

II. Otonomi Daerah dan Stabilitas

1. Otonomi Daerah harus diberikan kepada Provinsi secara penuh dan bulat. Yaitu sebagai upaya Desentralisasi dan pendelegasian Kekuasaan Pemerintah Pusat.
2. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Otonomi Penuh pada Provinsi-provinsi, Pemerintah Pusat tetap memegang kendali dalam Pertahanan Negara, Keamanan Dalam Negeri, Kebijakan Luar Negeri dan Keuangan Negara khususnya di bidang Moneter.
3. Otonomi Daerah secara penuh dan bulat tidak sama dengan Federalisme. Gubernur adalah tetap mewakili dari Presiden/Wakil Presiden di Wilayah Provinsi.
4. Otonomi Daerah tidak hanya menyangkut bidang Administrasi saja, melainkan juga Politik dan Ekonomi dan Kehidupan Sosial.
5. Otonomi Daerah mengakibatkan Ketergantungan Wilayah Otonom satu dengan yang lain, yang berakibat pada semakin eratnya persatuan dari sebuah Nehgara Kepulauan seperti Republik Indonesia.
6. Otonomi pada tingkat Provinsi ini akan mengubah banyak hal dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia.

III. Administrasi Negara dan Administrasi Pemerintah

1. Perlunya pembedaan antara Sistim Administrasi Negara dari sistim Administrasi Pemerintah. Tanpa pembedaan kedua sistim itu seakan-akan menyatu di bawah pemerintah, di mana pegawai Negara, termasuk alat Negara harus tunduk kepada pemerintah dan menjadi alat pemerintah, bukan alat Negara.
2. Administrasi Negara menjalankan perundang-undangan yang ditetapkan Negara, termasuk Konstitusi, dan berpihak hanya bagi kepentingan seluruh masyarakat; sedang administrasi pemerintah menjalankan kebijakan atau politik pemerintah. Sehingga, sekalipun pemerintah berganti, tapi administrasi negara tetap tidak berubah, dan tetap berjalan menjalankan perundang-undangan yang ada, khususnya Undang-Undang Dasar.
3. Sebagai contoh adalah kewajiban Negara memelihara fakir-miskin dan anak-anak telantar sebagai amanat Konstitusi Pasal 34 UUD-1945 yang mau tidak mau harus dilaksanakan sesuai dengan data orang miskin, tanpa menunggu Peraturan Pemerintah dan Menteri Keuangan.
4. Kabinet dalam pemerintah pusat tidak perlu gemuk dengan sekitar 35-36 melainkan cukup belasan kementerian saja, yaitu bidang-bidang yang ditangani oleh Pemerintah Pusat; sedang selainnya itu disebut sebagai Kantor Negara yang terutama menjalankan Administrasi Negara, dan dipimpin oleh Kepala Kantor Negara. Kalau Kementerian-kementerian ada di bawah Kendali Presiden, maka Kantor Negara berada di bawah kendali Wakil Presiden

IV. MPR, DPR, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden

1. Tugas MPR juga menetapkan GBHN, dan tugas DPR menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, di mana untuk memudahkan tugas-tugas itu, MPR dan DPR harus dibantu oleh sebuah badan, seperti Bappenas, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang bekerja secara profesional. Kantor semacam Bappenas ini tentunya berkedudukan di dalam lingkungan DPR/MPR.
2. “Sebagai tanda dari Kedaulatan Rakyat, maka kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya dalam penetapan APBN, lebih tinggi daripada kedudukan Pemerintah”.
3. Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga perwakilan rakyat yang mewakili rakyat dari berbagai macam kelompok rakyat, baik yang terorganisir dalam perserikatan maupun kumpulan individu-individu dari Sabang sampai Merauke. Perserikatan itu bisa dalam bentuk partai politik atau bukan. Mereka dipilih dalam sebuah Pemilihan Umum wakil rakyat.
4. Pemilihan Umum adalah memilih orang, bukan memilih partai atau organisasi. Begitu terpilih, loyalitas anggota DPR adalah kepada rakyat dan Negara, bukan lagi kepada Partai atau Organisasi yang mengusulkannya. “My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins.” Itulah hakekat partai politik dan perhimpunan-perhimpunan kemasyarakatan umumnya. Anggota-anggota DPR tidak lagi merupakan wakil-wakil Partai atau Perhimpunan-perhimpunan, melainkan wakil rakyat umumnya, dan khususnya di wilayah-wilayah pemilihannya.
5. Pemilihan anggota DPR diselenggarakan oleh tiap-tiap Provinsi tanpa mesti harus serentak untuk seluruh provinsi.
6. Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah, atau DPRD khususnya provinsi, seperti halnya dengan DPR di tingkat Negara, dipilih secara langsung oleh rakyat di provinsinya masing-masing. Pemilihan ini dilaksanakan oleh tiap-tiap provinsi dengan biaya masing-masing provinsi.
7. Sedang mengenai anggota lembaga perwakilan rakyat di daerah Kabupaten dan Kota diserahkan pada kebijakan tiap-tiap provinsi, bisa dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui musyawarah.
8. Pemilu di Provinsi-provinsi dan Pemilihan Presiden pada masa mendatang haruslah pula menghitung suara Golongan Putih (Golput). Angka tersebut perlu sebagai tolok ukur besarnya partisipasi rakyat. Pemilu adalah pernyataan dari Daulat Rakyat; sehingga, kurangnya partisipasi rakyat perlu diselidiki.
9. Masa kerja anggota DPR, Utusan-utusan Daerah dan Utusan Golonganitu serta Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu sama. Kalau masa kerja Presiden/Wakil Presiden ditetapkan untuk lima tahun, maka masa kerja anggota DPR bisa ditetapkan untuk empat tahun, sekalipun bisa dipilih kembali; dan masa kerja anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan bisa ditetapkan untuk enam tahun dan bisa dipilih kembali.
10. Pemilihan Umum yang sifatnya Nasional hanya untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden; sedang yang selain itu dilakukan sendiri oleh provinsi otonom. Pemilihan Gubernur Kepala Daerah Provinsi diserahkan pada tiap-tiap provinsi, mau dipilih secara langsung atau diserahkan kepada DPRD tingkat Provinsi. Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada untuk Kabupaten dan Kota juga diserahkan kepada tiap-tiap provinsi, mau secara langsung atau melalui musyawarah DPRD.
11. Menjatuhkan seorang Presiden tidaklah sulit atau dipersulit. Cukup dengan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR atas panggilan DPR. Maka sesuai dengan ketentuan, bahwa Presiden adalah Mandataris MPR maka SI-MPR bisa segera menjatuhkan Presiden dan menunjuk penggantinya selaku Penjabat Presiden dalam Pemerintahan Transisi.

V. Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman

1. Kekuasaan Yudikatif, disebut pula sebagai Kekuasaan Kehakiman atau Peradilan, berada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, lembaga hukum tertinggi, yang merdeka dari kekuasaan-kekuasaan lain, sekalipun tetap berada di bawah kuasa MPR. Mahkamah Agung adalah Majelis Agung yang membawahi Peradilan Negeri, Peradilan Tinggi dan Peradilan Agung.
2. Mahkamah Agung juga bisa melakukan Uji Materi terhadap undang-undang melalui sebuah badan yang disebut dengan Majelis Pertimbangan Konstitusi yang dibentuk dan berada di dalam lingkungan Mahkamah Agung sendiri. Dengan demikian tidak diperlukan adanya badan baru seperti Mahkamah Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung, pemisahan mana membuat tubuh Kekuasaan Yudikatif menjadi terbelah, lemah dan bahkan bisa menjadi berseteru satu dengan yang lain.
3. Majelis Pertimbangan Konstitusi juga dibebaskan dari menangani konflik hasil Pemilihan Umum. Konflik hasil Pemilihan Presiden yang dilaksanakan secara nasional ditangani oleh Mahkamah Agung bersama Pengadilan Agung; sedang konflik Pemilihan-pemilihan yang terjadi di daerah-daerah provinsi ditangani oleh Pengadilan Tinggi di provinsi masing-masing yang bersangkutan.
4. Hakim-hakim di Pengadilan-pengadilan dan Sistim Peradilan harus bisa ditingkatkan derajad dan kwalitasnya, agar keadilan dan kebenaran benar-benar terwujud, antara lain, untuk memberantas segala penyimpangan hukum yang mencederai rakyat serta memberantas para Mafia Peradilan yang semakin merajalela. Jaringan Mafia Peradilan ini melibatkan bukan saja hakim dan para petugas pengadilan, tetapi juga polisi, jaksa dan para pengacara, serta para pengusaha.
5. Kalau perlu para hakim yang Putusannya tidak sesuai dengan Prinsip Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan mencederai rakyat, perlu dihentikan profesinya sebagai Hakim dan diganti dengan Hakim Baru. Perihal ini pernah terjadi di Jerman Bersatu, di mana 90 persen dari Hakim Jerman Timur diganti dengan para Hakim dan Ahli Hukum Jerman Barat.

VI. TNI dan Pertahanan Negara

1. Doktrin Dwi Fungsi ABRI atau lebih tepatnya TNI ini adalah suatu bentuk penyelewengan terhadap tugas dan fungsi TNI, sehingga harus benar-benar adihapuskan.
2. Dengan begitu, TNI harus ikhlas tanpa ada keinginan lain dalam menjalankan tugas pertahanan negara, menjaga dan mempertahankan wilayah Negara, menjaga dan memperetahankan kekayaan alam Negara, serta melindungi Rakyat dari kekuatan-kekuatan Asing, serta tidak bermain politik dan pemihakan selain kepada Rakyat dan Negara.
3. Tentulah Tugas Pertahanan Negara itu harus diimbali dengan Jaminan kehidupan yang sejahtera sekeluarga.
4. TNI harus kuat, baik dalam kwalitas personalianya maupun peralatan dan sistim persenjataannya. Pelemahan dalam tubuh TNI mulai terlihat dari kekalahannya dalam Perang di Timor-Timur, Irian Jaya dan Nangroe Aceh Darussalam.
5. TNI harus mampu menyelenggarakan kerjasama dengan Negara-negara lain dalam memperkuat Persenjataan dan Teknologi Perangnya.
6. Sekarang pelemahan terhadap TNI itu dihadapkan pada nafsu sebagian Etnis Cina yang berjiwa Mafia untuk menguasai Indonesia, nafsu mana sudah ada sejak sebelum Majapahit berdiri.

VII. Keamanan Dalam Negeri, Kepolisian dan Hukum

1. Indonesia, seperti kebanyakan Negara-negara lain, tidak membutuhkan seorang Kapolri. Kapolri digantikan oleh Menteri Dalam Negeri yang sekaligus bertanggungjawab terhadap Keamanan Dalam Negeri, atau Homeland Security.
2. Dengan adanya Otonomi Daerah, maka Pangkat tertinggi Polri ada pada Kepala Polisi Daerah atau Kapolda. Polisi-polisi di wilayah Provinsi ini secara administratif berada di bawah Gubernur, dan para Gubernur berada di bawah Menteri Dalam Negeri. Sedang para Polda ini menjalankan tugasnya sebagai Polri berdasarkan Undang-undang. Tentu saja para Gubernur bisa mengeluarkan Peraturan Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kwalitas Polda.
3. Dalam meningkatkan Keamanan Dalam Negeri Bareskrim perlu diubah menjadi Badan Penyelidik Negara, Juga perlu dibentuk Badan Keamanan Nasional, serta Badan Kepolisian Rahasia. Badan-badan baru ini adalah independen dari pengaruh kekuasaan Pemerintah, dan karena itu berada di bawah kendali Mahkamah Agung.
4. Badan Intelijen Negara perlu diperbaiki sehingga benar-benar menjadi badan yang independependen dari Kekuasaan Pemerintah dan berada di bawah kendali Mahkamah Agung.
5. Upaya Kepolisian Negara dalam meningkatkan Keamanan Dalam Negeri harus disertai dengan Pelayanan dan Pengayoman kepada masyarakat serta ikutserta dalam menegakkan Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia, menegakkan hukum dan Hak-hak Asasi Manusia dan dilarang melakukan kekerasan terhadap rakyat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here