Penulis: Iswara N Raditya
Sejak bocah, Amien Rais dikenal pemberani, tidak takut menghadapi orang yang dianggapnya lalim dan sewenang-wenang. Jika perlu, tantangan adu jotos ia diladeni demi membela kebenaran yang diyakininya. Kendati lawan lebih besar, Amien pantang mundur satu langkah pun.
“Waktu sekolah dulu, jika ada seorang anak diganggu segerombolan anak nakal, maka Mas Amien akan datang membela. Ia tidak segan-segan untuk berduel melawan para pengganggu,” ungkap Razak Rais yang tidak lain adalah adik kandung Amien, suatu kali.
Sudalmiyah, ibunda Amien, juga tidak menyangkal jika anak keduanya itu memang punya sifat membela kebenaran yang di dalam Islam diistilahkan dengan amar ma’ruf nahi mungkar atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah melakukan keburukan.
“Dulu,” kenang Suldamiyah seperti dikutip dari buku Dr. H.M. Amien Rais: Demi Pendidikan Politik, Saya Siap Jadi Calon Presiden (1997: 197), “ia sering memberesi anak-anak yang suka celelekan (bergurau secara berlebihan) di masjid.”
Amien pun mengamini penuturan saudara dan ibunda terkasihnya itu. “Memang badan saya tidak begitu besar, tapi saya lawan anak-anak yang suka menganggu itu, yang badannya besar. Dan Alhamdulillah, saya menang,” kelakarnya.
Diakui oleh Amien, ibundanya berperan penting dalam membentuk karakternya tersebut, terutama untuk mengajak orang-orang berbuat baik.
“Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, untuk melaksanakan amar ma’ruf tidak ada risikonya, orang yang tidak setuju pun tidak akan marah. Akan tetapi, kalau nahi munkar banyak risikonya,” sebut Amien.
Keberanian ini kelak menjadi modal berharga bagi Amein dalam mengarungi kerasnya kehidupan berpolitik di tanah air. Amien Rais menjelma sebagai tokoh intelektual muslim sekaligus politisi sejati, yang manuvernya acapkali memengaruhi bergulirnya roda sejarah pemerintahan di negeri ini.
Muhammadiyah, Islam, dan Politik
Muhammad Amien Rais merupakan kader sejati Muhammadiyah. Dilahirkan di Surakarta pada masa-masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia, yakni 26 April 1944, label Muhammadiyah sudah melekat kepadanya sejak dini. Bersama organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912 itulah Amien melakoni fase demi fase penting dalam hidupnya.
Ayah Amien, Suhud Rais, adalah tamatan Mu’alimin Muhammadiyah yang kemudian bekerja di Kantor Departemen Agama. Sementara ibunya merupakan lulusan sekolah pendidikan guru Muhammadiyah, lalu bergiat di ‘Aisyiyah dan akhirnya memimpin organisasi sayap perempuan Muhammadiyah itu di Surakarta selama dua dekade.
Darah Muhammadiyah yang mengalir di dalam darah keluarga Rais ternyata berasal dari kakeknya. Wiryo Soedarmo, kakek Amien, adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa Tengah (Ahmad Bahar, Biografi Cendekiawan Politik Amien Rais, 1998: 2).
Amien punya kenangan tersendiri dengan kakek yang amat dihormatinya itu. “Dulu waktu kecil saya didoakan semoga jadi Ketua Muhamadiyah oleh kakek saya. Kakek saya bilang: Min, kamu tak doain kalau sudah besar jadi Ketua Muhammadiyah,” kenang Amien, dalam suatu acara di Jakarta pada 2015lalu.
Doa sang kakek ternyata terkabul. Dalam Muktamar yang digelar di Aceh pada 1995, Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggantikan K.H. Ahmad Azhar Basyir. Amien memimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini hingga tahun 2000.
Kepemimpinan Amien Rais di Muhammadiyah diwarnai serangkaian kejadian penting dalam sejarah perpolitikan tanah air. Ia turut ambil bagian dalam gerakan reformasi yang menumbangkan Presiden Soeharto pada Mei 1998. Selanjutnya, Amien membentuk sekaligus memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) meski sebenarnya Muhammadiyah tidak berpolitik praktis.
Amien Rais memainkan pengaruh besar sejak tahun-tahun pertama setelah Reformasi 1998 atau pasca-runtuhnya Orde Baru. Tahun 1999, ia terpilih sebagai Ketua MPR, kemudian membidani terbentuknya poros tengah untuk menaikkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden –sekaligus melengserkannya di kemudian hari– demi menjegal MegawatiSukarnoputri.
Pada Pemilu 2004, Amien Rais mencoba peruntungannya maju sebagai calon presiden, berpasangan dengan Siswono Yudohusodo yang justru pernah menjadi bagian dari Orde Baru –rezim yang dimusuhi dan memusuhi Amien– sebagai menteri kabinet Presiden Soeharto selama 10 tahun. Namun, pasangan ini kalah. Pemenangnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).
Amien sempat balik ke dunia akademis setelah kekalahannya pada 2004 itu. Namun, tahun-tahun terakhir ini ia turun gunung, terutama menjelang Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan lagi-lagi mengusung kekuatan agama (Islam) sebagai salah satu senjata utama dalam kembali mengarungi kancah politik.
Pemikiran Islam-Politik Amien Rais
Sebagai pemegang gelar master ilmu politik dari University of Notre Dame lalu meraih gelar doktoral dari University of Chicago di Amerika Serikat, kiprah Amien Rais memang tidak bisa dilepaskan dari kancah perpolitikan nasional. Hal ini berlaku pula dalam konteks agama karena ia adalah tokoh Muhammadiyah sekaligus intelektual Islam yang turut menggagas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Bagi Amien Rais, politik dapat diselaraskan dengan Islam demi menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menurutnya lebih ideal. Moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid, dalam pandangan Amien, merupakan sandaran utama bagi seorang politisi.
Amien Rais dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (1995) menyatakan bahwa politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat/pegawai, proses pemecahan konflik kepentingan antargolongan dalam masyarakat, proses pembuatan keputusan politik, dan seterusnya, adalah contoh-contoh kegiatan politik yang tidak dapat dilepaskan dari fondasi moral dan etik yang dianut (hlm. 30).
Sebagai contoh, seorang penganut marxisme menganggap kegiatan politik yang baik adalah jika tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan borjuis, dan terciptanya revolusi sosial masyarakat tanpa kelas. Contoh lain, bagi seorang sekularis-pragmatis, kegiatan politik yang baik adalah apabila dapat memberikan keuntungan praktis dan manfaat secara material.
Nah, bagi seorang muslim, kata Amien, seperti dikutip dari penelitian Dhanil Septian bertajuk “Pemikiran Politik Amien Rais: Suatu Studi Analisis tentang Adiluhung/High Politics dan Aplikasinya di Indonesia” (2009), kegiatan politik yang baik adalah jika tindakan itu berguna bagi rakyat sesuai dengan ajaran rahmatan lil’alamin (hlm. 93).
Islam sangat menjunjung tinggi rasa keadilan, agama yang seluruh ajarannya berintikan penegakan keadilan. Maka, tegas Amien, agama Islam harus dapat menjadi solusi untuk memecahkan berbagai persoalan sosial di masyarakat demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya (Akh. Muzzaki, Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi, 2004: 62).
Namun, ketika politik dilakukan dalam konteks dakwah, termasuk dalam upaya melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, sangat penting bagi seorang muslim untuk mengedepankan nilai-nilai Islam dalam menjalankan perjuangan politiknya tersebut, kendati tetap menghargai seluruh elemen yang menyusun tegaknya suatu negara.
Maka, untuk konteks dakwah, Amien Rais menegaskan bahwa menyisipkan pesan-pesan politik dalam ceramah atau pengajian –sebagai salah satu bentuk syiar Islam– justru merupakan keharusan. Pemikiran Islam-politik seperti inilah yang dibangkitkan Amien menjelang Pilpres 2019.
“Kita jangan kehilangan momentum. Ini baru jelang pilpres… pengajian disisipi (pesan) politik itu harus!” tandas Amien Rais di hadapan para ustazah dalam suatu agenda yang digelar di Balai Kota DKI Jakartatanggal 24 April 2018 lalu.
“Kalau ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda masjid, partai-partai Islam, cuma leyeh-leyeh(bersantai-santai) menunggu Allah SWT mengambil-alih, is impossible. Jadi, kita harus bergerak!” imbuhnya.
Jadi, bagi Amien Rais, sah-sah saja bahkan menjadi kewajiban bagi dirinya yang seorang muslim untuk memperjuangkan kepentingan umat melalui politik. Agama (Islam) dan politik, barangkali menurut Amien, harus bersinergi jika ingin mewujudkan perubahan demi masa depan bangsa, termasuk umat Islam, yang lebih baik.