Oleh : Dr. Chazali H.Situmorang,APT, M.Sc /Dosen FISIP UNAS-Pemerhati Kebijakan Publik
Berita harian Republika hari ini ( Senin, 30 April 23028), ada judul berita yang mengusik perhatian saya yaitu “1,7 JUTA ANAK BELUM IMUNISASI”. Dalam berita tersebut Plt.Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat kementerian Kesehatan Murti Utama menyatakan saat ini masih ada anak-anak yang belum mendapatkan imuniasasi secara lengkap, bahkan tidak pernah mendapatkan imunisasi sejak lahir.
“ Hal itu menyebabkan mereka mudah tertular penyakit berbahaya karena tidak adanya kekebalan terhadap penyakit tersebut. Karena itu Kemenkes mengubah konsep imunisasi dasar lengkap menjadi imunisasi rutin lengkap”. Kalau begitu artinya selama ini imunisasi lengkap / imunisasi dasar lengkap tidak dilaksanakan secara rutin. Rupanya pada penjelasan berikutnya Murti menjelaskan bahwa imunisasi rutin lengkap adalah imunisasi dasar dan lanjutan. Mudah-mudahan kita tidak semakin bingung. Karena disini ada persoalan rutin atau tidak rutinnya imunisasi dilakukan saat ini.
Kenapa perlu Imunisasi?
Imunisasi adalah upaya pencegahan penyakit menular yang diterapkan dengan memberikan vaksin sehingga orang tersebut imun atau resisten terhadap penyakit tersebut. Imunisasi dimulai sejak usia bayi hinggan masuk usia sekolah. Melalui imunisasi, anak akan diberikan vaksin yang berisi jenis bakteri atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dinonaktifkan guna merangsang sistem imun dan membentuk antibodi di dalam tubuh mereka. Antibodi yang terbentuk setelah imunisasi bermanfaat untuk melindungi tubuh dari serangan bakteri dan virus tersebut di masa yang akan datang.
Dengan tidak terlindunginya 1,7 juta jiwa anak-anak dengan program Imunisasi, merupakan potensi yang besar untuk menjadi generasi masa depan yang akan mengalami berbagai penyakit dan wabah penyakit menular. Sebagai contoh jika tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 5 item yaitu akan berpotensi menderita penyakit hepatitis B dan kerusakan hati jika tidak diberikan vaksin hepatitis B, pada bayi yang baru lahir yang berusia kurang dari 7 hari. Penyakit tuberkulosis (TBC),akan berpotensi di derita pada saat anak dan dewasa jika tidak diberikan vaksin BCG 1 kali pada bayi yang berumur 1 bulan. Potensi difteri, pertusis, tetanus, dan hepatitis B akan datang pada diri seseorang jika tidak diberikan vaksin DPT-Hepatitis B, sebanayk 3 kali mulai bayi berumur 2 bulan,3 bulan dan 4 bulan.
Banyaknya kasus penyakit polio berupa kelumpuhan tungkai kaki dan tangan, karena tidak mendapatkan vaksin polio yang harus diberikan 4 kali yaitu pada bayi berumur 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Bagaimana dengan penyakit campak yang dapat menyebabkan komplikasi radang paru, radang otak dan kebutaan. Bisa jadi karena tidak mendapatkan vaksinasi campak yang diberikan 1 kali saat bayi berumur 9 bulan.
Potensi penyakit menular yang disebabkan karena tidak dilakukannya imunisasi, jangan saja dilihat dari 1,7 juta anak yang akan mengalaminya dalam perjalanan usianya, tetapi dampak menular yang mempengaruhi lingkungan dan masyarakat sekitar. Tentu akan terjadi implikasi yang luas seperti kasus wabah difteri di Papua yang menewaskan puluhan bahkan mungkin saja ratusan nyawa manusia.
Kemenkes harus kerja keras?
Pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan Pemerintah Daerah Propinsi dan Kab/Kota tidak cukup hanya dengan slogan “kerja, kerja,kerja” tetapi harus “ keras, keras, keras”. Sehinga menjadi “_hard work_, hard work dan hard work”. Atau kerja keras, kerja keras, dan kerja keras”. Untuk menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat yang mencakup persoalan imunisasi, gizi dan stunting.
Strategi yang ditempuh dan sejak 30 tahun yang lalu pernah berjalan efektif adalah melakukan mobilasi masyarakat. Bangkitkan kembali kader-kader kesehatan di dusun, rt,rw, desa, kelurahan, kecamatan, dan hidupkan kembali konsep dasa wisma, posyandu, dengan model 5 meja, pencatatan, penimbangan bayi( KMS) , imunisasi, KB, dan di akhiri dengan pemberian makanan tambahan (PMT).
Otonomi Daerah sejatinya bukanlah menjadi penghalang untuk program-program yang mendorong partisipasi masyarakat. Bahkan dimaksudkan agar berbagai program-program yang sudah efektif dan memberikan hasil untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dapat lebih ditingkatkan karena mekanimse kontrol dan rentang kendalinya sudah lebih pendek ditangan Bupati dan Walikota.
Apalagi dukungan anggaran sudah memadai. Kebijakan Pemerintah yang diperintahkan oleh UU Kesehatan dan aturan pemerintah lainnya, mengharuskan , 5% dari APBN dan 10% dari APBD digunakan untuk kesehatan. Artinya program-program promosi kesehatan ( sebagai bagian dari Upaya Kesehatan Masyarakat), harus menjadi prioritas utama pemerintah. Kenapa?. Karena Upaya kesehatan Perorangan menurut UU SJSN dan UU BPJS, dukungan anggaran biaya sudah menjadi urusan BPJS Kesehatan. Artinya jajaran birokrasi Kesehatan, paradigmanya sudah harus bergeser kearah peningkatan UKM dengan melakukan mobilisasi masyarakat untuk hidup sehat.
Gerakan mobilasi masyarakat pada level akan rumput, untuk pencegahan penyakit –penyakit menular, tentu pada gilirannya akan menekan dan terkendalinya morbiditas ( angka kesakitan). Penurunan morbiditas, maka dapat mengendalikan besarnya anggaran BPJS Kesehatan untuk kuratif, dan tersedianya dana untuk peningkatan mutu pelayanan di faskes.
Efek bonus demografi
Pada saat ini dan 10- 15 tahun kedepan, secara demografis para ahli demografi, mengatakan Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Sederhananya bonus demograsi itu adalah Indonesia akan mendapatkan komposisi penduduk usia produktif ( 15 s/d 64 tahun) adalah terbesar ( sekitar 75%). Artinya jika kelompok usia prduktif itu benar-benar produktif, punya kompetensi yang tinggi, cerdas, sehat, berpendidikan tinggi, punya jaminan sosial, maka akan memiliki asset yang cukup untuk kehidupannya. Tentunya kelompok usia ini akan bergerak ke usia lansia. Dan pada usia lansia ( 65 tahun ke atas), kualitas hidupnya tinggi. Tidak menjadi beban generasi dibawahnya. Ratio ketergantungan semakin kecil, bahkan juga dapat membantu kehidupan sosial ekonomi anak-anaknya.
Jika dalam masa-masa bonus demografi tersebut, yang terbentuk adalah kelompok usia produktif yang penyakitan, bodoh, miskin, un-skill, tidak ada jaminan sosial, maka bonus demografi akan menjadi bencana demografi. Suatu kondisi dimana banyak lansia yang hidupnya tergantung pada generasi dibawahnya dan tentunya menjadi beban negara, karena Konstitusi kita mengamanahkan bahwa orang miskin dan terlantar dipelihara oleh negara. Semoga bangsa ini, terhindar dari bencana demografi.
Cibubur, 30 April 2018
Silahkan share jika bermanfaat.