OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Tim Studi NSEAS)
Jokowi tidak tertarik menggunakan urusan riset dan teknologi utk kampanye lisan Pilpres 2014. Masuk akal, karena issu riset dan teknologi ini tidak populis hanya tertarik bagi minoritas kaum terpelajar yg suka dgn riset dan teknologi. Bahkan, dari sejumlah kaum terpelajar, hanya sebagian kecil tertarik urusan riset dan teknologi. Apalagi mengingat Jokowi dan JK bukan kalangan cendikiawan, ilmuwan atau akademisi. Mereka lebih dominan berada pd posisi dunia usaha.
Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Tim Studi NSEAS tidak menemukan janji Jokowi terkait riset dan teknologi. Janji urusan ini baru muncul dlm janji tertulis, tertuang di dlm dokumen NAWA CITA, antara lain:
1. Berkomitmen meningkatkan anggaran riset untuk mendorong inovasi teknologi.
2. Menjadikan instansi urusan hak cipta dan paten bekerja proaktif melayani para inovatif dan inventor.
3. Akan membangun sejumlah Science and Techno Park di daerah-daerah.
4. Penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional (kerja sama swasta-pemerintah-perguruan tinggi) khususnya sektor pertanian dan industri; serta riset dan pengembangan dasar didukung dgn dana pemerintah.
5. Memprioritaskan pembiayaan kegiatan berhubungan penelitian pengembangan iptek unggulan.
6.Mewajibkan aparatur pemerintah utk menganut “techno-ideology” , bahwa melalui pendidikan penguasaan teknologi kita harus bangkit dari “amnesia sejarah” dan “amnesia ideologi”.
Sesuai RPJMN 2015-2019, butir2 penting urusan riset dan teknologi antara lain:
1. Dengan kegiatan riset harus menunjukkan kemajuan capaian secara berturut-turut dari eksplorasi hingga difusi.
2. Prioritas kegiatan riset adalah kegiatan dapat mencapai tahap difusi.
3. Penyediaan kebutuhan di setiap tahapan riset secara memadai.
4. Pembangunan 100 Techno Park di Kabupaten/Kota dan Science Park di setiap Provinsi.
RPJMN ini tidak menargetkan anggaran riset nasional. Hanya mengakui, anggaran riset masih di bawah 0,1 % dari PDB. Utk meningkatkan anggaran, perlu peningkatan kontribusi swasta dgn strategi:
1. Menggunakan anggaran pemerintah utk mendorong swasta melakukan kegiatan litbang antara lain melalui kemitraan riset dgn swasta.
2. Intensif swasta melakukan riset.
Segera setelah jadi Presiden, pada 16 Agustus 2014, Jokowi menjadi pembicara kuliah umum di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu, anggaran riset Indonesia hanya Rp.10,4 triliun. Lalu, Jokowi berjanji akan lipat gandakan anggaran riset di Indonesia. Ia tidak mau berjanji sesuai saran Ketua LIPI Lukman Hakim yakni minimal 1 % per GDP atau sekitar Rp. 80 triliun per tahun. Jokowi hanya berani dan mau berjanji, akan lipat gandakan. (Kompas.com.).
Pd 2016 anggaran riset memang meningkat menjadi sekitar Rp 17 triliun, bahkan tidak mencapai kenaikan 100 % atau lipat gandakan. Walau ada kenaikan, tetapi tidak signifikan utk kemajuan. Angka tersebut masih berada di posisi paling rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara.
Utk mengetahui negara itu maju dapat dgn indikator anggaran Riset dan Pengembangan (R & D) per GDP. Utk negara2 maju pd 2005, persentase R&D per GDP antara 2-4 %. Rata2 antara 2,3-3,5 %. Israel 4,5 %; Swedia 3,9 %, Finlandia 3,5 ,%, Jepang 3,2 %, AS 2,6 %, Korsel 2,6 %, Swis 2,6 %, Jerman 2,5 %, Austria 2,3 %, Taiwan 2,2 %, Singapura 2,2 %, Perancis 2,2 %, Inggris 1,9 %, Cina 1,4 %, Rusia 1,3 %, India 1,0 %, Turki 0,7 %, Malaysia 0,7 %. Berapa Indonesia? Hanya 0,1 % !
Apakah ada kemajuan di era Jokowi? Sepertinya tidak ada perubahan berarti. Indonesia tergolong sangat rendah pengeluaran anggaran riset dan pengembangan. Dalam buku Proyeksi Ekonomi Indonesia 2017 bertajuk Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia disebutkan, anggaran riset hanya 0,3 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah anggaran riset negara lain.
Di lain pihak, Menristekdikti M. Nasir (TempoCo, 6 Januari 2017) menilai, riset di Indonesia masih kurang dibanding beberapa negara di Asia. Hal itu tercermin dari perbandingan belanja riset dan pengembangan setiap tahun. Pd 2014 perbandingan biaya riset di angka 0,08. Pada 2016 perbandingan biaya riset naik menjadi 0,2. Namun dibanding dengan Cina dan Korea Selatan, angka itu masih jauh rendah. Sebab, mereka berada di atas angka 2. Namun,Nasir mengapresiasi jumlah publikasi riset mengalami peningkatan. Pada 2015 tercatat, sekitar 5.400 hasil riset terpublikasi. Pada 2016 terhitung ada 6.230 riset terpublikasi. Ia mengharapkan pada 2017 publikasi riset terus meningkat dengan bekerjasama dengan industri
Selanjutnta. Liputan6.com, 31 Juli 2017 menyajikan pendapat Muhammad Dimiyati, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti. Saat ini masih terkendala minimnya dana untuk melakukan riset. Dalam APBN 2017, anggaran riset ini masih 0,2 % dari PDB Indonesia. Padahal cita-cita Indonesia pada 2045 akan menjadi negara maju. Jumlah dana riset itu masih minim atau kecil sekali. Malaysia saja itu sudah di atas 1 %, Korea saat ini leading di industri anggaran riset sudah 4,5 %.
Dibandingkan 2005, hanya ningkat 0,2 %. Belum juga mampu mencapai di atas 1 %. Padahal Jokowi di Nawa Cita janji akan menaikkan anggaran riset. Dgn rendahnya anggaran riset, mustahil Indonesia bisa masuk ke tahap negara maju.
Dari sisi jumlah karya ilmiah org Indonesia di jurnal internasional, secara perbandingan antar negara, masih memprihatinkan. Muhammad Dimyati mengakui, masih sangat minim. Pd 2015, ada 5.421 dan sudah melebih target ditetapkan, 5.008. Indonesia ada di tangga nomor 52 dari total 229 negara. Dibanding Singapura saja Indonesia kalah telak. Pd 2014, menurut data www.scimagojr.com, Indonesia menerbitkan 5.499 jurnal ilmiah dlm publikasi internasional. Tak hanya kalah dari Singapura, Indonesia juga kalah dari Malaysia dan Thailand. Tiga negara itu menghasilkan angka masing-masing 17.198, 25.330, dan 12.061 jurnal.
Bukan hanya tak menonjol di lingkup ASEAN, Indonesia juga dikalahkan negara-negara tengah mengalami konflik seperti Mesir, Pakistan, dan Ukraina, masing-masing peneliti di negara merka memproduksi 14.196, 10.541, dan 9.218 jurnal ilmiah.
Dari indikator anggaran riset, kinerja Jokowi tergolong buruk. Tidak mampu memenuhi anggaran riset untuk menjadi negara maju, atau minimal 1 % per GDP. Kebijakan Jokowi urus riset dan teknologi, dari indikator anggaran riset, boleh dinilai tidak mempunyai visi strategis bagaimana memajukan suatu negara bangsa di dunia internasional. Jokowi sungguh miskin pengetahuan tentang hubungan riset dan teknologi, inovasi, industri, SDM dan pertumbuhan ekonomi dalam perkembangan atau kemajuan suatu negara. Ia masih tingkat pengetahuan pentingnya infrastruktur sekali pun juga masih tergolong gagal mencapai target.