Oleh : Salamuddin Daeng
(1) BUMN Migas Harta Terakhir
Holding BUMN terus berlanjut. Momentumnya bertepatan dengan tahun politik menjelang Pilkada serentak dan Pemilu 2019. Kali ini adalah Holding BUMN minyak dan gas yakni Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Pertamina. Kedua perusahaan memiliki fungsi paling vital di dalam bidang ekonomi dan politik, dikarenakan tugas dan fungsinya berhubungan langsung dengan hajat hidup paling mendasar rakyat Indonesia yakni minyak dan gas.
Jika terjadi masalah dalam dua BUMN sektor migas tersebut, maka tidak menutup kemungkinan terjadi gejolak politik. Apalagi dalam tahun politik. hoding BUMN ini pasti bukan agenda main main, tentu tersimpan resiko yang besar apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran konstitusi.
Sebelumnya pemerintah telah melakukan holding BUMN tambang yakni PT. Antam, PT Bukit Asam dan PT Timah dan PT Inalum. Kebijakan Holding ini dilakukan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham PT Inalum.
Kebijakan Holding BUMN Pertambangan ini memicu kontroversi karena adanya rencana Holding BUMN ini mengambil utang dalam jumlah besar sekitar 3 kali equity dalam rangka membeli Participating Interest (PI) Rio Tinto sebuah perusahaan kontraktor tambang PT. Freeport Indonesia (PT FI). Kebijakan ini dinilai membahayakan kerana berpotensi melanggar UU BUMN dan Kontrak karya (KK). Selain itu kebijakan pembelian PI dinilai berpotensi merugikan keuangan BUMN dan keuangan Negara.
Selanjutnya holding BUMN migas yakni Pertamina dan PGN dijalankan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan PT Pertamina. Melalui peraturan ini, pemerintah menambah penyertaan modal negara ke Pertamina dalam bentuk pengalihan saham seri B milik pemerintah di dalam tubuh PT Perusahaan Gas Negara (Persero).
Berdasarkan beleid yang dikutip Jumat (9/3), saham seri B yang dialihkan dari PGN ke Pertamina tercatat sebesar 13,8 miliar lembar saham dengan nilai PMN yang ditetapkan Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan pengalihan saham seri B, maka negara melakukan kontrol atas PGN dengan tetap memegang saham seri A dwi warna, yang artinya pemerintah masih memiliki kewenangan untuk mengusulkan dewan komisaris, direksi, dan memiliki hak atas rencana bisnis perusahaan.
Nilai saham yang dialihkan sekitar Rp.30 triliun atau sebagian besar saham pemerintah di PGN.
(2) Menimbun Utang BUMN
Apa maksud dari pengalihan PGN pemerintah yang ada di PGN ke Partamina?, tentu saja dengan muda terbaca yakni untuk menyediakan dasar secara keuangan bagi pertamina untuk mengambil utang dalam jumlah besar dengan equity yang semakin besar.
Sama halnya dengan holding BUMN tambang, Holding BUMN migas tampaknya memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan kesempatan bagi BUMN untuk mengambil utang dalam jumlah yang lebih besar.
Sebagaimana dilansir Jakarta Post (January 24, 2018) bahwa Pertamina’s equity is expected to increase by 13.5% to USD 26 billion, with a debt-to-equity ratio of 1.1 times, when it becomes a holding company. Ekuitas Pertamina diperkirakan meningkat 13,5% menjadi USD 26 miliar, dengan rasio hutang terhadap ekuitas 1,1 kali, saat menjadi holding company.
Ini adalah target utang yang sangat ambisius. Utang pertamina sekarang adalah USD 10 miliar atau sekitar Rp. 137 triliun. Dapat dibayangkan jika pertamina harus menambah utang 1,1 kali equity. Berarti utang Pertamina akan bertambah antara USD 28-29 miliar atau sekitar Rp. 400 triliun.
(3) Rencana Nekolim
Penggabungan sebuah perusahaan memang bukan perkara sederhana, atau hanya sekedar menggabungkan asset dan keuangan sebuah perusahaan namun juga menyangkut kultur dan sejarah sebuah perusahaan. Butuh waktu yang sangat lama bagi seluruh elemen perusahaan untuk dapat menyatukan budaya mereka dalam menjalankan usaha.
Demikian pula dengan penggabungan Perusahaan Negara (PN) atau sekarang BUMN. Meskipun kedua perushaan ini memiliki sejarah yang sama yakni sejarah pengambilalihan dari perusahaan asing, namun kedua perusahaan ini pembentukannya dimasudkan untuk dua tujuan yang berbeda.
Sebetulnya sejarah pembentukan BUMN sebagai sejarah perlawanan terhadap penjajahan asing atau kolonialisme dan imperialisme harus menjadi landasan ideology dua perusahaan ini. Sebagaimana diketahui bahwa PGN merupakan perusahaan yang dibentuk dari pengambialihan perusahaan milik penjajah belanda oleh para pejuang kemerdekaan. Pertamina merupakan perusahaan yang dibentuk dalam rangka menghadapi dominasi perusahaan migas asing yang diambil alih pasca Indonesia merdeka. Spirit dari pembentukan perusahaan ini adalah menghakiri neo kolonialisme dan imperislisme atau yang popular dengan istilah Nekolim.
PGN dan Pertamina memiliki sejarah yang berbeda. Sejarah Perusahaan Gas Negara dimulai pada 27 Oktober 1945, President Sukarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas (Bureau of Electricity and Gas) dibawah Menteri Pekerjaan Umum dan Energi. Jawatan ini ditugaskan untuk mengoperasikan pembangkit listrik yang dinasionalisasi dari tangan belanda. Jadi sebetulnya cita cita eksploitasi gas ditujujan bagi pemasok bahan bakar bagi perusahaan listrik.
Sementara Pertamina merupakan gabungan dari tiga perusahaan yakni Pertamin, Permigan dan Permina. Kedudukan Pertamina sebagai perpanjangan tangan Negara dalam pertambangan minyak dan gas bumi nasional diperkuat dengan UU no 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pertamina dibangun untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak dan gas masyarakat yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Sejarah anti nekolim ini yang dihapus dalam ingatan BUMN Indonesia. Pada era reformasi PGN dan Pertamina berubah fungsi menjadi perusahaan yang mengejar kentungan. Keduanya diatur melalui UU No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas. Kedudukan secara perusahaan diatur dengan UU No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang salah satu tugasnya adalah mencari keuantungan. Untuk mencapai tujuan mendapatkan untung tersebut maka perusahaan PGN menjual sahamnya ke publik dan mengambil utang di pasar keuangan global.
(4) Rakyat Jadi Korban
Masyarakat Indonesia sekarang ini tengah menghadapi masalah harga-harga kebutuhan hidup yang tinggi. Kenaikan harga selalu di awali dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gas dan Tarif dasar Listrik (TDL). Jika ketiga komoditi ini mengalami kenaikan harga maka secara otomatis harga seluruh kebutuhan hidup masyarakat akan naik.
Apakah holding BUMN migas merupakan upaya untuk mengatasi harga dan biaya energy yang tinggi di Indonesia ? Seharusnya demikian. Holding BUMN akan membuat BUMN semakin optimal dalam menggunakan sumber daya yang ada, memasimalkan pemanfaatan kekayaan minyak dan gas bagi kemakmuran rakyat.
Selain itu seharusanya holding BUMN akan menjadikan BUMN kuat, tangguh dalam sumber daya dan keuangan sehingga bisa setara dengan perusahaan perusahaan swasta yang asing yang menguasai 85 % kekayaan minyak nasional dan menguasai 90% kekayaan gas nasional.
Namun holding tampaknya tidak dimaksudkan untuk tujuan menyelamatkan masyarakat dari harga energy yang tinggi dan tidak dimaksudkan untuk tujuan menyelamatkan kekayaan alam dari dominasi perusahaan asing.
Mengapa disimpulkan demikian ? Karena holding BUMN tidak diawali dengan perubahan dua UU yang penting yang berkaitan dengan sektor minyak dan gas yakni UU No 22 tahun 2001 tentang migas dan UU No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
UU Migas dan UU BUMN merupakan dasar dari pelaksanaan neoliberalisme dalam sektor migas di Indonesia dan dasar dari liberalisasi dan komersialisasi BUMN. Pelaksanaan kedua UU tersebut telah menyebabkan kekayaan migas dikuasai asing dan BUMN mencari untung di dalam hajat hidup orang banyak.
Adanya keharusan mendapatkan untung sebesar besarnya menyebabkan BUMN migas melakukan berbagai macam cara, termasuk mengambil utang dari pasar keuangan dalam jumlah besar. Konon kabarnya utang tersebut akan digunakan untuk ekspansi membeli ladang minyak, melakukan eksplorasi migas, membangun infrastruktur dan lain sebagainya. Seluruh beban kewajiban yang melekat pada utang seperti bunga dibebankan kepada harga minyak dan gas yang dijual kepada masyarakat. Akibatnya justru sebaliknya utang terus meningkat, akan tetapi harga energy terus membumbung tinggi.
Sampai tahun 2017 PGN memiliki utang sebesar USD 2.44 billion atau sekitar Rp. 32.9 triliun. PGN menanggung debt to equity ratio mencapai 80%. Asset perusahaan sekitar USd 6.3 miliar atau sekitar Rp. 85,05 triliun. Kepemilikan public/swasta di perusahaan mencapai 43.1 % dan saham pemerintah 56.9%. Sementara Pertamina masih 100% dimiliki oleh Negara. Namun pertamina menanggung utang mencapai USD 8.75 miliar dolar atau sekitar Rp. 118 triliun.
Kewajiban yang dipikul kedua perusahaan tersebut semakin berat dikarenakan adanya kewajiban lain yang dibebankan pemerintah yakni harga BBM dan harga gas yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara harga ketetapan pemerintah tersebut berada dibawah harga pokok produksi perusahaan.
Sisi lain pemerintah tidak lagi mau mensubsidi energy BBM, Gas dan juga listrik. Jadi sebetulnya ada yang tengah berusaha memperlemah BUMN migas. Jika BUMN migas semakin lemah maka menjadi kesempatan swasta dan asing menguasai sepenuhnya produksi, dan perdagangan migas Indonesia.
(5) Mega Proyek Bancakan?
Salah satu agenda utama pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur di semua sektor, baik itu sektor transportasi maupun sektor non transportasi seperti sektor energy yang meliputi listrik, BBM dan gas. Rencana mega proyek infrastruktur tersebut merupakan kelanjutan dari rencana pemerintah sebelumnya dan merupakan bagian dari agenda global salah satunya ASEAN connectivity.
Pembangunan infrastruktur sektor listrik misalnya dijalankan dengan program listrik 35 ribu MW. Sebuah proyek yang sangat ambisius di tengah kelebihan pasokan listrik terutama di Jawa-Bali. Seluruh proyek listrik PLN seperti jaringan dan pembangkit tersebut dibiayai dari utang. Sementara pembangkit swasta dijamin pembeliannya oleh PLN juga dengan menggunakan dana utang.
Bagaimana dengan mega proyek di bidang migas ? salah satu prioritas utama adalah pembangunan infrastruktur kilang pertamina dengan alsan kilang tua, tidak mampu lagi memproduksi kebutuhan nasional dan lain lain. Namun program prioritas tersebut tidak didukung oleh ketersediaan anggaran dari internal Pertamina sendiri dan dari Pemerintah.
Dengan demikian pembangunan infrastruktur migas ini sudah pasti akan dibangun dengan dana utang. Mengapa ? karena keuangan internal Pertamina tidak mungkin mencukupi, karena memang selama ini pertamina dibebankan untuk melalukan subsidi BBM premium karena pemerintah telah menghapus subsidi BBM tersebut di dalam APBN.
Sebagaimana dikatakan Pertamina has estimated that it will need around USD120 billion to support its business plans within the next decade, of which one-third will be used to finance various refinery projects. Kebutuhan anggaran pertamina dalam rangka membangun mega proyek infrastruktur tersebut mencapai 3 kali nilai asset pertamina saat ini.
Proyek proyek yang dibiayai utang selama ini dikerjakan oleh BUMN dengan para pemasok adalah kontraktor swasta yang merupakan bagian oligarki penguasa sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa oligarki penguasa Indonesia memiliki dua sumber keuangan penting yakni belanja proyek yang dibiayai oleh APBN dan belanja proyek yang dibiayai oleh BUMN.
Proyek besar, anggaran besar, untung besar, kesemua itu sangat berarti bagi penyediaan biaya politik dalam proses menuju Pemilu 2019 mendatang. Resiko paling buruk bagi bangsa Indonesia adalah, BUMN disita investor swasta asing karena tidak bisa bayar utang. Semoga tidak terjadi.