PUTUSAN
Nomor 56 P/HUM/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 (selanjutnya disebut “Permen LHK Nomor P.39”) Tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani, pada tingkat pertama dan terakhir telah memutuskan sebagai berikut, dalam perkara:
1. DARMAWAN HARDJAKUSUMAH, S.H., kewarganegaraan Indonesia, beralamat di Jalan Biologi Nomor 4, RT.003/RW.007, Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Bandung, Jawa Barat;
2. NACE PERMANA, kewarganegaraan Indonesia, beralamat di Perum Sirnabaya Indah F2-12, RT.004/RW.005, Desa Sirnabaya,Kecamatan Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat;
3. IR HARNANTO H.M., kewarganegaraan Indonesia, beralamat di Jalan Amonia Blok E Nomor 23 RT.006/RW.005, Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat;
4. PERKUMPULAN PENSIUNAN PEGAWAI PERHUTANI (4P), sebuah badan hukum berbentuk perkumpulan yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, berdasarkan Akta Notaris Nomor 01 tanggal 1 Desember 2015 yang dibuat di hadapan
Muhammad Kamaludin Purnomo, S.H., Notaris di Kabupaten Sleman;
Selanjutnya memberi kuasa kepada:
1. Agung Mattauch, S.H., M.H.,
2. Roedy M Wiranatakusumah, S.H., M.H.,M.BA.,
3. Yuniarti Chandra, S.H., M.H.,
4. Frins Sisie, S.H, Ibrahim Aziz, S.H. dan
5. Latu Suryono, S.H.,
kesemuanya kewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Advokat pada Kantor Hukum Matt, Evert & Partners, beralamat di Cityloft Sudirman, Lantai 18, Suite 1810, Jalan KH Mas Mansyur Nomor 121, Jakarta 10220, berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 4 September 2017, 6 September 2017 dan 5 September 2017;
Selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon; Melawan
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, beralamat di Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai 4,Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat;
Selanjutnya memberi kuasa kepada:
1). Krisna Rya, S.H., M.H.,
2). Rosa Vivien Ratnawati, S.H., M.SD.,
3). Ir. Hargyono, M.Sc.,
4). Supardi, S.H.,
5). R. Luhur Kusumo, S.H.,M.Si.,
6). Endi Sugandi, S.H., M.H.,
7). Drs. Afrodian Lutoifi, S.H., M.Hum., dan
8). Yudi Ariyanto, S.H., M.T.,
masing-masing Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, beralamat di Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 3, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor KS. 40 MenLHK/Setjen/Kum.6/10/2017 tanggal 10 Oktober 2017;
Selanjutnya disebut sebagai Termohon;
Mahkamah Agung tersebut;Membaca surat-surat yang bersangkutan;
DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 6 September 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 22 September 2017 dan diregister dengan Nomor 56 P/HUM/2017 telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
PEMOHON Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang menyebutkan sebagai berikut:
“Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung Rl atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang”; Untuk itulah dalam bagian ini Para Pemohon menjelaskan tentang kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil sebagai suatu upaya pemenuhan syarat formil, bahwa Para Pemohon dapat dan atau mempunyai kapasitas dalam mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil pada Mahkamah Agung RI, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a). Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI ayat:
1. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan langsung oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung RI dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang, yaitu:
a. perorangan warga Negara Indonesia,
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam Undang – Undang; atau
c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
3. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat Pemohon,
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
1. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau
2.Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
4. Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Mahkamah Agung RI paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
5. Dalam hal Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa Pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
6. Dalam hal Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
7. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
8. Putusan Mahkamah Agung RI yang mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
9. Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
10. Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung RI.
11. Bahwa tata cara Pengajuan Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Hak Uji Materiil Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil;
b). Bahwa Pemohon adalah perorangan warga Negara Indonesia maupun Perkumpulan, Lembaga atau organisasi yakni:
1. Darmawan Hardjakusumah, S.H., Warga Negara Indonesia, beralamat di Jalan Biologi Nomor 4, RT.003/007, Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Bandung, Jawa Barat (Bukti P-5). Sebagai anggota masyarakat, Pemohon I yang biasa dipangggil “Acil Bimbo” menilai konsep bagi bagi lahan hutan di wilayah Perhutani kepada pemegang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) yang dirancang dalam Permen LHK Nomor P.39 akan tumpang tindih dengan pemanfaatan hutan yang dilakukan Perum Perhutani dengan mitra kerjanya yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat memicu konflik horizontal dalam masyarakat.
Pengelolaan hutan yang diberikan kepada ribuan pemegang IPHPS menurut Permen LHK Nomor P.39, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan menyebabkan kesemerawutan pengelolaan hutan
negara karena tumpang tindih dengan pengelolaan yang diberikan Perum Perhutani sebagai BUMN kehutanan. Apalagi bila pengelolaan hutan oleh pemagang IPHPS nantinya dilakukan pihak-pihak yang tidak mempunyai pengetahuan khusus di bidang
kehutanan malah akan semakin memperburuk tata kelola hutan di Indonesia. Bila hutan negara tidak dikelola dengan baik maka dikhawatirkan akan muncul berbagai bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.Karena itu Pemohon I berkepentingan untuk ikut menjaga kelestarian hutan dengan tata kelola hutan yang baik. Keberadaan Permen LHK Nomor P.39 telah mengancam tata kelola hutan di Indonesia dan pada akhirnya dikhawatirkan akan menimbulkan banyak bencana alam disamping potensi konflik horizontal dalam masyarakat yang diakibatkan adanya tumpang tindih pemanfaatan hutan dalam masyarakat.
2. Nace Permana, Warga Negara Indonesia, beralamat di Perum Sirnabaya Indah F2-12, RT.004/005, Desa Sirnabaya, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Kab Karawang, Jawa Barat (Bukti P-6). Sebagai anggota masyarakat, Pemohon II sangat mengkhawatirkan
keberadaan Permen LHK Nomor P.39 yang memberikan pemanfaatan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani kepada ribuan pemegang IPHPS pada akhirnya memicu konflik horizontal dalam masyarakat, mengingat di dalam lahan hutan yang dikelola Perum Perhutani sudah ada pemanfaatan hutan yang dilakukan dengan mitra kerjanya yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Potensi konflik horizontal ini juga akan terjadi wilayah Kerawang dan sekitarnya dimana Pemohon II tinggal sehari-hari. Sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Lodaya” yang berkedudukan
di Kerawang Pemohon II menilai di Kerawang ada sekitar 5900 hektar lahan hutan Perhutani yang kini terancam dimiliki pada pemegang IPHPS. Di Teluk Jambe, pemegang IPHPS kini sudahberhadap-hadapan dengan masyarakat yang tergabung dalam
LMDH sebagai mitra kerja Perum Perhutani selama ini.
Pemohon II juga menilai Permen LHK Nomor P.39 berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan karena pengelolaan hutan oleh ribuan pemegang IPHPS yang dimaksudkan Permen LHK Nomor
P.39 bukan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan, berbeda dengan yang dilakukan Perum Perhutani selama ini, sebagai sebuah BUMN kehutanan yang Halaman 6 dari 88 halaman. Putusan N,omor 56 P/HUM/2017 memang mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan.
Pemohon II juga mengkhawatirkan bahwa areal hutan yang diberikan pemanfaatannya kepada pemegang IPHPS nantinya malah akan jatuh kepada pihak ketiga yang tidak berhak. Akan terjadi praktek jual beli tanah garapan dari pemegang IPHPS kepada pihak ketiga. Kesempatan terjadinya penyimpangan ini terbuka mengingat hak pemanfaatan hutan yang dipegang
pemegang IPHPS seperti yang disebutkan Permen LHK Nomor P.39 berlangsung cukup lama, yakni 35 tag4hun. Apalagi hak garap atau hak pemanfaatan lahan hutan tersebut menurut Permen LHK Nomor P.39 ternyata dapat pula diwariskan. Sengketa kepemilikan lavhan hutan Perum Perhutani oleh pemegang IPHPS akan semakin pelik, sementara masalah pengelolaan hutan akan terabaikan
dengan sendirinya.
3. IR. Harnanto H.M., Warga Negara Indonesia, beralamat di Jalan Amonia Blok E Nomor 23 RT.006/RW.005, Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (Bukti P-7). Sebagai anggota masyarakat, Pemohon III sangat khawatir dan
prihatin dengan prinsip bagi bagi lahan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani kepada ribuan pemegang IPHPS, seperti yang dimaksud Permen LHK Nomor P.39, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah, mengingat adanya tumpang tindih pemanfaatan dan pengelolaan hutan pemegang IPHPS dengan Perum Perhutani.
Di dalam masyarakat akan terjadi konflik horizontal karena memanfaatkan lahan hutan yang sama. Terjadinya tumpang tindih kewenangan pengelolaan hutan ribuan pemegang IPHPS nantinya dengan pengelolaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani
sebagai BUMN kehutanan menyebabkan kesemerawutan pengelolaan hutan yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan hutan. Bila kerusakan hutan terjadi maka berbagai bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor akan terjadi.
Pemohon III juga khawatir bahwa dalam jangka waktu 35 tahun pemanfaatan lahan hutan yang diberikan kepada pemegang IPHPS seperti yang disebutkan Permen LHK Nomor P.39 berpotensi menciptakan masalah kepemilikan tanah yang pelik. Apalagi bila
pemanfaatan hutan tersebut dapat diwariskan. Dengan jangka waktu pemanfaatan lahan hutan yang demikian lama (selama 35 tahun) dan dapat pula diwariskan maka pada akhirnya muncul sengketa kepemilikan lahan yang berkepanjangan antara
pemegang IPHPS dengan negara sebagai pemilik hutan. Sengketa kepemilikan semakin pelik apabila kemudian terjadi pula peralihatan hak pengelolaan kepada pihak ketiga. Bahkan bukan tidak mungkin
pihak ketiga inilah yang pada akhirnya menikmati hak pemanfaatan hutan yang sebenarnya, sementara tanggung jawab pengelolaan hutan semakin terabaikan.
4. Perkumpulan Pensiunan Pegawai Perhutani (selanjutnya disebut sebagai 4P) sebagai suatu Perkumpulan yang dibentuk berdasarkan akta notaris (Bukti, P-8) dan disahkan Menteri Hukum dan HAM (Bukti P-8A). Sebagai perkumpulan pensiunan pegawai Perum Perhutani atau 4P yang diwakili Soeparwo, S.H., sebagai Pemohon IV (Bukti P-8B) menilai Permen LHK Nomor P.39 menyebabkan tata kelola hutan negara di masa mendatang akan semerawut, mengingat pengelolaan hutan yang juga diberikan kepada pemegang IPHPS menyebabkan tumpang tindih dengan pengelolaan hutan yang yang diberikan negara kepada Perum Perhutani sebagai BUMN khusus
kehutanan. Sehingga batas tanggungjawab masing-masing pihak menjadi tidak jelas. Bila misalnya terjadi bencana alam yang disebabkan kerusakan hutan maka siapa yang mesti bertanggungjawab. Akan sulit meminta tanggungjawab kepada pemegang IPHPS nantinya. Perum Perhutani seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagai BUMN kehutanan yang diberi tanggung jawab mengelola hutan negara karena dinilai mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan akan mengalami kesulitan menjalankan pengelolaan kehutanan bersama ribuan pemegang IPHPS, apalagi bila pemegang IPHPS tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan. Bila pengelolaan hutan negara semerawut maka kerusakan hutan tidak tidak akan terhindari. Bila terjadi kerusakan hutan maka
berbagai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor tinggal tunggu waktunya saja. Pemohon IV juga khawatir pemanfaatan lahan hutan di wilayah Perum Perhutani yang diberikan kepada pemegang IPHPS juga berpotensi menyebabkan konflik horizontal di dalam masyarakat, mengingat di atas lahan hutan yang dimanfaatkan Perum Perhutani
selama ini ada yang sudah dilakukan pemanfaatan bersama dengan mitra kerja Perum Perhutani yang tergolong dalam Lembaga Masyarakat Hutan Desa (LMDH). Ketika bekerja di Perhutani Pemohon IV ikut terlibat dalam menjalankan peran Perhutani dalam hal melakukan pengelolaan hutan, termasuk melakukan pemanfaatan hutan untuk kepentingan masyarakat. Bila pola kerja yang sudah dilakukan Perum Perhutani
selama ini dirusak dengan adanya Permen LHK Nomor P.39 maka akan muncul berbagai masalah yang berkaiatan dengan tumpang tindih pemanfaatan hutan dan pengelolaan hutan yang berbuntut pada konflik horizontal dalam masyarakat dan terjadinya kerusakan
hutan yang menyebabkan berbagai bencana alam nantinya. Di sisi lain Permen LHK Nomor P.39 Perum Perhutani menyebabkan semakin berkurangnya lahan hutan yang dimanfaatkan Perum Perhutani, sehingga mengurangi pendapatan Perum Perhutani yang pada akhirnya mengancam hak pensiun bagi puluhan ribu pensiunan Perum Perhutani saat ini.