Utang Negara Dan Ancaman Krisis

0
2233

DR Fuad Bawazier, MA

Jl. Banyumas No.4 Menteng. Jakarta Pusat

Akhir-akhir ini para pelaku ekonomi banyak mendiskusikan isue-isue tentang kredibilitas APBN dan utang negara serta ancaman atau potensi krisis yang menyertainya

UTANG NEGARA

1. Per Agustus 2017 Rp3825,79T
    PerJuli2017 Rp3779,98T
    Kenaikan dalam 1 bulan Rp 45,81T
    Atau Rp1,5T per hari  
2. Per Agustus 2017 Rp3825,79T
    Per Juni 2017 Rp3706,51T
    Kenaikan dalam 1 bulan Rp 119,28T
    Atau Rp2T per hari  
3. Per Agustus 2017 1 Rp3825,79T
    Per 2014 (Oktober 2014) Rp2604,93T
    Kenaikan dalam 34 Bulan Rp1220,73T
    Atau Rp1,2T /hari  
  1. Jadi pada hemat kami rencana penarikan SBN tahun 2015 (netto) Rp414,7T cenderung terlalu kedl. Pada perkiraan saya akan mencapai Rp545T (rata-rata Rp1,5T per-hari), satu dan lain hal karena kecenderungan penerimaan negara khususnya pajak yang tidak mencapai targer sementara problem inefisiensi anggaran (pemangkasan) belum sungguh-sungguh diatasi melalui perencanaan anggaran bukan melalui pemangkasan mendadak seperti yang sering terjadi belakangan ini.
     
  2. Dilain pihak, beban utang yang ada sekarang ini cepat atau lambat akan melampaui daya dukung APBN untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun rasio Utang Negara terhadap PDB baru mencapai 29%, tetapi karena tax rasio kita hanya 10,3% PDB (2016), maka utang merupakan ancaman terhadapkemampuan APBN dalam pembayarannya baik bunga maupun cicilan pokok utang. Pada catatan kami jumlah utang negara yang akan jatuh tempo pada tahun 2018 Rp390T dan 2019 Rp420T sehingga total menjadi Rp810T.
     
  3. Saya menyadari bahwa pemerintah (Menteri Keuangan) menyatakan bahwa dalam hal utang negara kita tidak bisa mengkaitkannya dengan tax rasio mengingat tax rasio di Indonesia komponennya berbeda dengan tax rasio di negaranegara lain. Karena itu pemerintah bersikeras untuk tetap menggunakan panduan ratio utangnya terhadap PDB. Kalau demikian, argumentasi yang sama seharusnya juga digunakan dalam hal PDB dimana komponen PDB di tiap negara berbedabeda.Tetapi dengan menggunakan panduan tax rasio yang ada sekarang ini ataupun tax rasio yang akan disempurnakan sekurang-kurangnya lebih relevan dengan kemampuan APBN dalam memenuhi kewajiban pembayaran terhadap utangdaripada terhadap PDB, mengingat pendapatan perpajakan sudah mencapai 86% dari total pendapatan negara.
     
  4. Berdasarkan data Kementerian Keuangan dalam RUU APBN 2018 total pembayaran kewajiban utang negara Januari sampai dengan Juli 2017 adalah Rp347,6T atau 67,56% dari pagu yang dialokasikan dalam APBN. Dengan kata lain jumlah yang dialokasikan adalah Rp514,57T. Sedangkan target penerimaan perpajakan 2017 sebesar Rpl473T. Dengan demikian 35% dari pendapatan perpajakan 2017 digunakan untuk memenuhi kewajiban pembayaran tahunan. terhadap utang, dan prosentase ini cenderung akan terus meningkat mengingat penerimaan perpajakan yang melemah (tidak akan mencapai target) sementara penarikan pinjaman baru justru cenderung meningkat

-Dengan demikian dalam penyusunan APBN pemerintah perlu mempertimbangkan kriteria-   kriteria baru terutama dalam kaitannya dengan utang yaitu dengan memasukkan rasio maksimum pembayaran kewajiban utang terhadap penerimaan perpajakan, tidak ngotot dengan panduan ratio utang terhadap PDB yang masih dibawah 30%.

  1. Di negara-negara besar dan maju yang rasio utangnya terhadap PDB sudah melampaui 100% (yang sering dijadikan perbandingan oleh pemerintah), tax rasionya rata-rata diatas 30%, sehingga rasio APBN-nya terhadap PDB juga jauh melebihi rasio yang sama di Indonesia

Rata-rata tax rasio di negara;

  1. Berpenghasilan tinggi 35%
  2. Berpenghasilan menengah atas 26%
  3. Berpenghasilan menengah bawah 19%
  4. Berpenghasilan rendah 14,3%

Indonesia termasuk dalam negara berpenghasilan menengah bawah yang rata rata tax rasionya 19% sementara tax rasio Indonesia baru mencapai 10,3% di tahun 2016.

  1. Dengan demikian beban utang tidak cukup semata-mata diukur dengan rasionya terhadap PDB tetapi yang lebih penting lagi adalah terhadap likuiditas APBN dan atau rasionya terhadap pendapatan (penerimaan) perpajakan.
     
  2. Penerimaan perpajakan dan realisasinya terhadap target.

2013 Rp1077I(93,8%)

2014 Rp1147T(92%)

2015 Rp1240T(83,29%)

2016 Rp1285T(83,48T)

2017 Rp1609T(target APBNP)

2018 Rp1473T(RAPBN)

 

Catatan

-Target perencanaan perpajakan 2018 adalah 9,2% diatas target 2017, atau 25,2% diatas realisasi 2016.

-Realisasi 2016 sudah termasuk Tax Amnesty.

-Target 2017 adalah 15% diatas realisasi 2016 yang pada hemat kami sulit untuk tercapai mengingat pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan 2013 – 2016 rata rata hanya 7% (Buku II, hal. N.3-2 RUU APBN 2018)

-Terdapat kecenderungan realisasi penerimaan perpajakan yang terus menurun dibandingkan dengan targetnya

  1. Defisit 2018

-Defisit keseimbangan primer Rp78,3T

-Defisit APBN Rp325,9T (2,19% PDB)

  1. Rasio defisit RAPBN 2018 terhadap penerimaan perpajakan

Defisit Rp325,9T

Pendapatan Perpajakan Rp1609,3T

Rasio 20,3%

Untuk mencegah kesulitan likuiditas APBN dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang negara (bunga maupun cicilan pokok), rasio defisit terhadap penerimaan perpajakan seharusnya tidak melebihi tax rasio (10,3%). Rasio defisit APBN terhadap pendapatan perpajakan yang melampaui tax rasio dalam jangka menengah atau panjang akan menimbulkan persepsi pasar atau kreditur bahwa negara akan menghadapi kemungkinan (risiko) gagal bayar.

  1. Pembayaran bunga utang (dalam negeri dan luar negeri):

2016 Rp182,8T (100%)

2017 Rp218,6T (120%)

2018 Rp247,5T (135%)

Kenaikan pembayaran bunga utang jauh melampaui pertumbuhan atau kenaikan penerimaan perpajakan, padahal sumber pembayaran bunga utang seharusnya dari penerimaan perpajakan, bukan dari utang baru yang akan memperbesar defisit keseimbangan primer.

  1. Anggaran Pembayaran Bunga Utang 2018 sebesar Rp247,5T tersebut dibandingkan penerimaan perpajakan 2018 sebesar Rpl.609,3T adalah 15,4% yang berarti jauh diatas tax rasio. Apalagi bila target penerimaan perpajakan itu tidak tercapai maka rasionya akan lebih besar dari 15,4%. Belum lagi dengan memperhitungkan angsuran pokok utang yang akan jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp390T atau 24,2% dari penerimaan perpajakan 2018 (Rpl609,3T), sehingga secara keseluruhan pembayaran kewajiban bunga dan utang dalam tahun 2018 adalah 39,6% (15,4% + 24,2%) dari penerimaan perpajakan.

Dengan demikian hanya tersisa 60,4% yang dapat digunakan untuk menggerakkan ekonomi.  Sebagaimana uraian diatas bahwa dalam tahun 2017 (target), rasio pembayaran kewajiban utang terhadap pendapatan perpajakan adalah 35% tetapi dalam 2018 akan menjadi 39,6%. Berarti terjadi kenaikan yang sangat signifikan. Diperkirakan realisasinya bisa lebih buruk (besar) lagi sehingga pada tahuntahun APBN selanjutnya diperkirakan rasionya terus meningkat (memburuk).

Pada hemat kami, bila rasio ini sudah dalam range 45% 50% pasar akan menengarainya dengan lampu kuning – merah alias menjauhi pasar SBN Indonesia. Dan apabila sampai terjadi krisis pada tahun-tahun politik 2018 atau2019 yang berakar dari turunnya kredibilitas Surat Utang Negara atau kesulitan negara dalam pembayaran kembali pokok utang dan bunganya dapat diduga akan disertai dengan skandal korupsi ala BLBI dan Bank Century. Apalagi dalam UU APBN 2018 telah diberikan fasilitas "perlindungan dan kekebalan hukum"terhadap pejabat-pejabat negara untuk bertindak mengatasi krisis. Untuk itu Presiden dan DPR harus jeli dan ketat dalam menjalankan dan mengawasi perkembangan perekonomian dan APBN.

  1. Argumentasi yang sering dikemukakan oleh Pemerintah Jokowi bahwa utang negara dipergunakan untuk pembangunan khususnya infrastruktur, benarkah? Dalam tahun 2016 defisit anggaran (APBN) mencapai Rp308,3T tetapi belanja modal hanya Rp169,5T atau 55%, berarti 45%-nya untuk non belanja modal. Dalam tahun anggaran 2015 defisit anggaran mencapai Rp298,5T tetapi belanja modal hanya Rp215,4T atau 72%, berarti 28% dibelanjakan untuk non-belanja modal. Artinya, dari tahun ketahun semakin besar porsi defisit anggaran (utang negara) yang dipergunakan untuk non-belanja modal. Bandingkan dengan APBN semasa pemerintahan Orba dimana belanja modal selalu jauh lebih besar daripada defisit anggaran sesuai acuan GBHN bahwa utang negara hanya pelengkap dan bersifat sementara. Bahkan semasa pemerintahan SBY sekalipun,misalnya dalam tahun 2010, belanja modalnya mencapai 183,8% dari defisit anggarannya.
     
  2. Debt Service to Export Ratio (DSR) Hal lain yang semakin mengkhawatirkan dalam kaitannya dengan utang negara adalah debt service to export ratio (DSR) yang di Indonesia kini telah mencapai 40% sementara menurut Debt Sustainability Framework rasio yang aman adalah 25%. Dengan demikian DSR Indonesia jelas sudah lampu merah.Bandingkan dengan DSR beberapa negara lain seperti Malaysia, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan China yang hanya sekitar 5%. Atau Pakistan, Philipina, Laos, dan India yang DSR-nya hanya sekitar 12%.

Dengan dernikian terdapat 2 (dua) ancaman serius dalam hal utang negara yaitu  kemampuan pendapatan negara yang terbatas untuk memenuhi kewajibannya dan DSR yang terlalu tinggi. Utang negara telah memasuki lampu kuning menuju merah alias mendekati krisis.Kesimpulannya, bahwa dalam mempertimbangkan penarikan utang baru atau defisit APBN yang perlu diperhatikan adalah rasio defisit APBN terhadap pendapatan perpajakan agar tidak melampaui tax rasio, dan prosentase kenaikan pembayaran bunga dan cicilan utang tidak melampaui prosentase kenaikan pendapatan perpajakan, atau ditetapkan batasan maksimum pembayaran kewajiban bunga dan utang terhadap pendapatan perpajakan. Selain itu perlu pula dipertimbangkan tersedianya valas untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang lazimnya diukur dengan DSR. Kriteria baru ini sudah amat diperlukan agar Indonesia tidak terjebak utang atau menuju gagal bayar, dan dalam APBN masih tersisa dana sendiri untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan, dan stabilitas kurs rupiah terhadap dolar.

 

Jakarta, 5 Desember 2017

DR Fuad Bawazier, MA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here