Komisi XI DPR sodorkan angka lebih rendah pertumbuhan ekonomi 2017
Rapat DPR. Hana Adi Perdana©2016 Merdeka.com
UANG | Rabu, 7 September 2016 22:25:14
Reporter : Hana Adi Perdana
Merdeka.com – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI malam ini menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardjojo serta perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Rapat ini akan membahas perihal pengesahan asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Pemerintah (R-APBN) 2017.
Salah satu hal yang dibahas dalam rapat ini adalah masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2017. Berdasarkan nota keuangan yang disusun pemerintah, pertumbuhan ekonomi pada 2017 diperkirakan sebesar 5,3 persen. Sementara di panja (panitia kerja), pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan sebesar 5,2 persen.
Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 hanya 5,05 persen saja.
“Dari laporan tersebut dan setelah dibahas di rapat Komisi XI mengusulkan pertumbuhan ekonomi 5,05 persen,” katanya di ruang rapat Komisi XI, Jakarta, Rabu (7/9).
Sebelumnya, Komisi XI DPR bersama panja menyepakati inflasi sebesar 4 persen year on year (yoy) atau sama dengan yang disepakati dalam nota keuangan. Demikian juga nilai tukar Rupiah terhadap USD disepakati sebesar Rp 13.300 dan untuk tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,3 persen (yoy).
Sementara untuk tingkat pengangguran, Komisi XI bersama panja sepakat sebesar 5,6 persen, tingkat kemiskinan 10,5, gini ratio 0,39 dan IPM (indeks) sebesar 70,1
OMISI XI DPR: PERPPU AKSES INFORMASI KEUANGAN MEMILIKI KELEMAHAN
DPR RI / RABU, 31 MEI 2017 , 10:21:00
Misbakhun
RMOL. Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memiliki kelemahan. Antara lain rendahnya hukuman bagi pegawai bank yang tidak melaksanakan ketentuan akses informasi keuangan.
Dalam Perppu No. 1 Tahun 2017, orang yang tidak memberikan informasi keuangan hanya mendapatkan denda 1 miliar.
“Kalau saya pemilik bank, saya bayar Rp 1 miliar untuk melindungi, selesai, apa susahnya? Ini terlalu lunak kepada orang yang tidak memberikan data informasi,” ujar anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun saat Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (29/5).
Dalam kesempatan tersebut, Misbakhun juga mempertanyakan alasan adanya pasal yang memuat ketentuan yang menukarkan informasi keuangan tidak bisa dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Pasal ini dianggap menabrak prinsip dasar bahwa setiap warga negara sama di depan hukum.
Sementara, anggota Komisi XI Johny G. Plate menyampaikan keluhan. Pasalnya DPR tidak bisa melakukan revisi terkait aturan yang tertuang dalam Perppu. Menurut politisi Nasdem ini, masih banyak hal yang belum terjelaskan dalam Perppu No 1 Tahun 2017 ini.
“Ini hanya boleh disetujui atau tidak setuju. DPR tidak bisa menambah, mengurangi atau mengubah isi Perppu. Padahal ada banyak pertanyaan yang mengusik saya, beberapa pasal juga harus dicabut,” jelas Johny.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku akan menghimpun aspirasi yang disampaikan Komisi XI terkait Perppu ini.
Sehingga tidak menutup kemungkinan masukan yang disampaikan akan dituangkan dalam rincian aturan pelaksanaan Perppu No 1 Tahun 2017 yang berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan diterbitkan dalam waktu dekat.
“Kami akan terus meneliti dan mencatat seluruh yang telah disampaikan dan tentu akan dimasukkan ke dalam aturan penjelasannya. Hal ini akan berguna untuk penyusunan PMK yang detail, terkait bagaimana kami menjalankan Perppu ini,” pungkasnya. [zul
Presiden Pidato tentang Nota Keuangan, Komisi XI DPR RI: Penggunaan Utang Haruslah Tepat
Sabtu, 19 Agustus 2017 19:39 WIB
TRIBUNNEWS.COM – Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari utang harus berdampak luas (multiplayer effect) bagi masyarakat. Dengan begitu, penggunaan utang sungguh-sungguh tepat dan bermanfaat.
Hal tersebut disampaikan Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR dengan agenda Pidato Kenegaraan Presiden tentang Nota Keuangan, Rabu (16/8/2017).
Menurutnya, bila pembiayaan infrastruktur tidak bisa ditopang oleh APBN, maka pemerintah pasti berupaya membiayainya dengan utang, sehingga program yang diusung pemerintah tersebut akan terus berlangsung.
Heri mengingatkan, jika utang untuk pembiayaan infrastruktur tidak memiliki manfaat yang riil dan luas, maka sebaiknya pemerintah memberi perhatian penuh terhadap sektor-sektor produktif yang belum dioptimalkan seperti pertanian.
Heri menyakini bahwa hal tersebut akan memberi manfaat dan solusi pengentasan angka kemiskinan yang lebih dari 60 persen ada di pedesaan.
Lebih-lebih, sekitar 50 persen orang miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian. ini butuh anggaran untuk pemberdayaannya. Dan pembiayaan yang bersumber dari utang akan lebih tepat sasaran.
“Penduduk di desa relatif banyak yang miskin. Lebih baik kemiskinan itu jadi prioritas. Sementara pembangunan infrastruktur, bila tak berdampak secara luas, kurang bisa menjawab masalah dalam jangka pendek,” jelas politisi Partai Gerindra ini.
Seperti diketahui, saat ini utang pemerintah sudah mencapai Rp3.779,98 triliun. 80 persen dari utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman sebesar Rp734,98 triliun (19,4%). Pemerintah sendiri mengklaim tambahan utang ini untuk kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transfer daerah, dan dana desa. (Pemberitaan DPR RI)
Presiden Pidato tentang Nota Keuangan, Komisi XI DPR RI: Penggunaan Utang Haruslah Tepat
Sabtu, 19 Agustus 2017 19:39 WIB
TRIBUNNEWS.COM – Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari utang harus berdampak luas (multiplayer effect) bagi masyarakat. Dengan begitu, penggunaan utang sungguh-sungguh tepat dan bermanfaat.
Hal tersebut disampaikan Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR dengan agenda Pidato Kenegaraan Presiden tentang Nota Keuangan, Rabu (16/8/2017).
Menurutnya, bila pembiayaan infrastruktur tidak bisa ditopang oleh APBN, maka pemerintah pasti berupaya membiayainya dengan utang, sehingga program yang diusung pemerintah tersebut akan terus berlangsung.
Heri mengingatkan, jika utang untuk pembiayaan infrastruktur tidak memiliki manfaat yang riil dan luas, maka sebaiknya pemerintah memberi perhatian penuh terhadap sektor-sektor produktif yang belum dioptimalkan seperti pertanian.
Heri menyakini bahwa hal tersebut akan memberi manfaat dan solusi pengentasan angka kemiskinan yang lebih dari 60 persen ada di pedesaan.
Lebih-lebih, sekitar 50 persen orang miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian. ini butuh anggaran untuk pemberdayaannya. Dan pembiayaan yang bersumber dari utang akan lebih tepat sasaran.
“Penduduk di desa relatif banyak yang miskin. Lebih baik kemiskinan itu jadi prioritas. Sementara pembangunan infrastruktur, bila tak berdampak secara luas, kurang bisa menjawab masalah dalam jangka pendek,” jelas politisi Partai Gerindra ini.
Seperti diketahui, saat ini utang pemerintah sudah mencapai Rp3.779,98 triliun. 80 persen dari utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman sebesar Rp734,98 triliun (19,4%). Pemerintah sendiri mengklaim tambahan utang ini untuk kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transfer daerah, dan dana desa. (Pemberitaan DPR RI)
Presiden Pidato tentang Nota Keuangan, Komisi XI DPR RI: Penggunaan Utang Haruslah Tepat
Sabtu, 19 Agustus 2017 19:39 WIB
TRIBUNNEWS.COM – Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari utang harus berdampak luas (multiplayer effect) bagi masyarakat. Dengan begitu, penggunaan utang sungguh-sungguh tepat dan bermanfaat.
Hal tersebut disampaikan Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR dengan agenda Pidato Kenegaraan Presiden tentang Nota Keuangan, Rabu (16/8/2017).
Menurutnya, bila pembiayaan infrastruktur tidak bisa ditopang oleh APBN, maka pemerintah pasti berupaya membiayainya dengan utang, sehingga program yang diusung pemerintah tersebut akan terus berlangsung.
Heri mengingatkan, jika utang untuk pembiayaan infrastruktur tidak memiliki manfaat yang riil dan luas, maka sebaiknya pemerintah memberi perhatian penuh terhadap sektor-sektor produktif yang belum dioptimalkan seperti pertanian.
Heri menyakini bahwa hal tersebut akan memberi manfaat dan solusi pengentasan angka kemiskinan yang lebih dari 60 persen ada di pedesaan.
Lebih-lebih, sekitar 50 persen orang miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian. ini butuh anggaran untuk pemberdayaannya. Dan pembiayaan yang bersumber dari utang akan lebih tepat sasaran.
“Penduduk di desa relatif banyak yang miskin. Lebih baik kemiskinan itu jadi prioritas. Sementara pembangunan infrastruktur, bila tak berdampak secara luas, kurang bisa menjawab masalah dalam jangka pendek,” jelas politisi Partai Gerindra ini.
Seperti diketahui, saat ini utang pemerintah sudah mencapai Rp3.779,98 triliun. 80 persen dari utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman sebesar Rp734,98 triliun (19,4%). Pemerintah sendiri mengklaim tambahan utang ini untuk kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transfer daerah, dan dana desa. (Pemberitaan DPR RI)