Oleh: Sri-Bintang Pamungkas
Tidak banyak yang tahu, bahwa Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) itu sudah ada sejak 1947. Pimpinannya yang pertama adalah Bung Hatta, seorang Ekonom lulusan Belanda. Bung Hatta juga belajar Hukum Konstitusi di sana, sebuah departemen baru yang belum lama dibuka. Karena itulah Bung Hatta ikut melahirkan Pasal-pasal di dalam UUD-1945. Termasuk di situ adalah Pasal 33 serta pasal-pasal Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia. Atas dasar itu pula Bung Hatta dianugerahi Gelar Doktor Kehormatan dalam Ilmu Hukum Tata Negara oleh Universitas Gadjah Mada.
Setelah Bung Hatta, Pimpinan PPN dipegang oleh Ir. Djuanda Kartawidjaya, lalu Mr. Muhammad Yamin dan lain-lain. Dari Otak Bung Hatta dan lain-lain itulah muncul Program Pembangunan yang kemudian terkenal dengan sebutan Delapan Tahun Pembangunan Semesta Berencana.
Sementara itu didirikan gedung megah beberapa lantai yang disebut dengan Gedung Pola. Gedung itu didirikan tepat di belakang Tugu Proklamasi di samping mana Bung Karno dan Bung Hatta menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Disebut sebagai Gedung Pola, karena di dalam gedung itu berbagai Proyek Pembangunan yang dirancang dan disetujui pembangunannya oleh DPR-RI itu dipertontonkan pola bangunannya, maketnya, rancangannya, cetak-birunya dan segala keterangan pentingnya, termasuk tahun, tempat dan biaya pembangunannya. Mereka itu dipajang di setiap lantai dan sudut-sudut gedung agar bisa dilihat dan dinilai oleh masyarakat pengunjung: Itulah hasil Kemerdekaan dan kerja keras dari para Tokoh dan Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan kita.
Untung tidak bisa diraih dan malang tidak bisa dihindari. Terjadi gejolak politik sampai timbulnya Tragedi G30S/PKI. Gedung Pola sudah tidak terurus dan juga beralih fungsi beberapa kali. Pak Harto pada 1971 mendirikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas yang menyatu dengan Kementerian PPN.
Bappenas dipimpin oleh juga seorang Ekonom, Dr. Widjojo Nitisastro, lulusan Universitas Indonesia, yang memperoleh gelar Doktornya dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Tapi berbeda dari Bung Hatta, Pak Widjojo tidak sepenuhnya setuju dengan Pasal 33, khususnya Ayat-1, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asaz kekeluargaan”.
Konon pada tahun 1955 itu, diadakan seminar di Universitas Indonesia, Salemba, di mana Mr. Wilopo, mantan Perdana Menteri (1952-1953) dihadapkan dengan Drs. Widjojo Nitisastro, Ekonom muda yang baru selesai mendapatkan kesarjanaannya. Salahsatu hal menarik yang disampaikan Widjojo adalah model pembangunan yang mengutamakan Pertumbuhan Ekonomi. “Kalau sudah tumbuh dan menghasilkan Kue Pembangunan cukup besar, maka barulah Kue Pembangunan itu kita bagi-bagi kepada mereka yang miskin. Kalau Kuenya belum ada, apa yang mau dibagi?!”
Itulah kira-kira kesimpulan yang saya baca dari Seminar 1955 di Universitas Indonesia. Seminar itu dibukukan dan ditulis dalam Bahasa Inggris, dengan judul the Socio-Economic Basic of the Indonesian State (@1959) yang saya baca dari Perpustakaan Cornell University, Amerika Serikat, ketika saya belajar di sana. Selanjutnya, bagian-bagian kue pembangunan itu akan jatuh membagi sendiri kepada si Miskin, sehingga meningkatkan pendapatan mereka yang kurang.
Itulah yang disebut dengan teori Trickle Down Effect. Pak Widjojo berangkat ke Berkekey untuk sekolah lagi demi mendapatkan gelar Doktornya. Di sana berbagai teori pembangunan yang mendukung trickle down effect dari pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan (growth) sedang gencar-gencarnya pula dikembangkan para ahli Ekonomi Pembangunan.
Salahsatu syarat bagi suksesnya pembangunan dengan pertumbuhan atau growth yang tinggi adalah tersedianya modal besar untuk membangun. Maka dibutuhkan modal besar pula untuk bisa mendorong negara agar bisa bergerak menjadi negara maju. Ini pun menjadi sebuah teori pembangunan sendiri yang disebut dengan teori Big Push.
Dengan keyakinan yang semakin tebal itu, Pak Widjojo bersama-sama Ekonom Indonesia lainnya yang juga lulusan Berkeley diangkat sebagai Tim Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. Bappenas ditugasi merencanakan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahunan. Pak Widjojo bersama Tim Berkeley berangkat ke Jenewa untuk misi berutang besar kepada Dunia demi melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Syahdan, pada tahun 1955 itu pula adalah seorang Ekonom Amerika Serikat dari Massachuset Institute of Technology (MIT), Simon Smith Kuznets. Dia adalah dari imigran asal Ukraina, yang menulis dan membuktikan bahwa teori Trickle Down Effect itu salah. Dalam periode awal dimulainya pembangunan, pertumbuhan ekonomi justru semakin merusak pemerataan pendapatan (equity). Memang setelah melewati batas kemajuan pembangunan tertentu, yaitu periode “terbang jelajah” dalam teori Take Off ( tinggal landas)-nya Rostow, maka trickle down effect akan berlangsung self contained.
Teori Simon Kuznets yang dikenal dengan Inverted U-Shape, yaitu yang menunjukkan tidak berlangsungnya pemerataan (equity) pada peningkatan pertumbuhan (growth) itu mendapatkan penghargaan Noble Price. Yaitu hadiah Noble untuk Ekonomi yang ke dua bagi Amerika Serikat sesudah Paul A. Samuelson.
Kuznets juga dikenal sebagai penemu GNP (Gross National Product) sebagai alat ukur potensi ekonomi suatu negara. Berita Hadiah Noble untuk Kuznets itu diterima pada 1971, saat Kuznets sedang memberikan kuliah di Departemen Ekonomi Iowa State University, Ames, Iowa. Sepuluh tahun kemudian baru saya datang untuk mulai belajar Ekonomi di sana. Saya merujuk penelitian dalam disertasi saya pada Inverted U-Shape-nya Kuznets.
Sudah beberapa lama sejak tulisan Kusnetz tersebut dunia Ekonomi Pembangunan berubah, apalagi mulai 1971. Berbagai tulisan menempatkan judul Growth with Equity (Pertumbuhan bersama Pemerataan) serta Redistribution with Growth (Pemerataan Pendapatan bersama Pertumbuhan) merebak di mana-mana. Di antaranya adalah tulisan-tulisan Steward dan Streeten serta Ahluwalia dan Chennery.
Tetapi Widjojo dan kelompok Berkeley tidak bergeming. Mereka terus berbelanja Utang selama lebih dari 20 tahun demi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, sebelum Pak Harto sadar tentang perlunya memperkenalkan “Delapan Jalur Pemerataan” dan “Inpres Desa Tertinggal”. Akan tetapi kemiskinan sudah telanjur menyebar ke mana-mana, sementara para konglomerat lahir bermunculan menjadi kapitalis-kapitalis pemangsa Ekonomi Rakyat. Perekonomian Indonesia ambruk ketika badai mulai menolak dominasi kekuasaan Soeharto selama 30 tahun.
Yang menarik, murid-murid Widjojo Nitisastro, yang dipercaya Rezim Penguasa menjalankan Keuangan Negara sampai hari ini, seperti Sri Mulyani dan Bambang Brojonegoro, masih terus-menerus saja mengumandangkan Pertumbuhan Ekonomi lewat Utang Luar Negeri. Sementara angka Kemiskinan terus bertengger di sekitar 100 juta jiwa sejak 1990.
Bappenas pun tidak berkutik, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jokowi bicara mengenai Tol Laut dan Poros Maritim, Bappenas diam seribu-basa. Tidak merasa bertanggungjawab terhadap rencana invasi RRC dengan jutaan Tentara Merahnya yang menyamar. Tidak peduli pula dengan Centang-perentangnya Infrastruktur yang dibangun seenaknya lewat Utang Besar, padahal harganya tidak terjangkau oleh Rakyat Pengguna Jalan. termasuk Kereta Cepat Cina yang nyaris mangkrak dan Pulau-pulau Reklamasi sebagai perluasan Benteng Cina Pantai Indah Kapuk.
Wahai Bappenas, di mana mukamu ketika yang terjadi adalah trickle-up, bukan tricle-down. Dan bahwa Kepindahan Ibukota Negara itu juga tidak mungkin akan mengubah arah pembangunan yang menyejahterakan Rakyat Indonesia menuju kemakmuran. Tidak ada sedikit pun alasan pembenarannya dalam Ekonomi Pembangunan. Mungkin sudah saatnya, setelah 50 tahun, menutup Bappenas dan meminta para penghuninya untuk keluar.