Bulaksumur, 9 Juni 2020
——
Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc
Guru Besar Kehutanan UGM dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Mei 2015-April 2017)
——
Di samping isu deforestasi, perhatian mengenai isu degradasi hutan merupakan isu yang secara paralel tidak bisa diremehkan, karena dalam kemitraan perubahan iklim Indonesia-Norwegia, kedua isu ini (deforestasi dan degradasi hutan) memiliki peranan yang berkontribusi dalam penurunan emisi.
Kemitraan Indonesia-Norwegia mengklasifikasikan hutan alam ke dalam enam kelas tutupan lahan, yakni hutan lahan kering primer, hutan rawa primer, hutan mangrove primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, dan hutan mangrove sekunder.
Kemitraan terkait dengan perubahan iklim kedua negara tersebut telah menekankan bahwa penurunan kelas tutupan lahan dari hutan primer ke hutan sekunder merupakan degradasi hutan.
Keberhasilan penurunan degradasi hutan dalam kemitraan Indonesia-Norwegia itu diukur dari keberhasilan mengurangi “pindah kelas” dari tutupan lahan hutan primer ke tutupan lahan hutan sekunder.
Hal tersebut sama artinya bahwa keberhasilan penurunan emisi yang berasal dari mengurangi degradasi hutan juga merupakan bagian dari pembayaran berdasarkan hasil (Results-based Payment/RPB) yang telah disepakati dalam kemitraan perubahan iklim Indonesia-Norwegia tersebut, bukan hanya penurunan emisi yang berasal dari keberhasilan menurunkan angka deforestasi.
Realisasi transfer pembayaran RBP, merupakan bukti keberhasilan Indonesia menurunkan angka deforestasi dan degradasi hutan. Sekaligus ini sebuah pengakuan Internasional atas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Jika mengacu pada definisi Global Forest Watch/World Resources Institute (GFW/WRI) bahwa minimal 30% kerapatan tutupan pohon diklaim sepihak sebagai hutan primer, maka klasifikasi tersebut akan berdampak pada hilangnya salah satu sumber penurunan emisi dalam kemitraan Indonesia-Norwegia, yakni yang berasal dari degradasi hutan karena hilangnya indikator perhitungan degradasi hutan (perubahan dari tutupan lahan hutan primer menjadi hutan sekunder).
Dalam hal semua kelas tutupan lahan diklaim sepihak sebagai hutan primer, pertanyaannya adalah di mana hutan yang tutupan lahannya merupakan hutan sekunder? Bagaimana mengukur telah terjadinya upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam menurunkan degradasi hutan? Juga, bagaimana cara mengukur telah terjadinya degradasi hutan?
Perlu dibaca kembali substansi dan esensi kemitraan Indonesia-Norwegia, terutama terkait dengan batasan degradasi hutan dan cara perhitungannya, mengingat REDD+ itu merupakan suatu paket upaya menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memetakan 12,7 juta hektar untuk perhutanan sosial, yang di antaranya terus didistribusikan kepada masyarakat setempat dan kelompok-kelompok masyarakat adat.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan alokasi hutan untuk perhutanan sosial tersebut, misalnya jika minimal 30% kerapatan tutupan pohon dikaim sepihak sebagai hutan primer? Tentu klaim ini menjadi tidak relevan, terutama pada tingkat akar rumput.
Apakah ada upaya-upaya sistematis untuk tidak mendukung perhutanan sosial dengan mengklasifikasikan semua tutupan hutan Indonesia sebagai hutan primer?
Atau, apakah ada upaya-upaya sistematis untuk menuding bahwa Pemerintah Indonesia mendistribusikan hutan primer untuk perhutanan sosial dengan mengklaim seluruh hutan Indonesia adalah hutan primer?
Program prioritas reforma agraria juga tersebar pada kawasan hutan yang memiliki tutupan hutan dengan luasan tertentu, apakah semua hutan tersebut juga diklasifikasikan sebagai hutan primer? Apakah ini merupakan upaya-upaya sistematis untuk tidak mendukung reforma agraria?
Bagaimana dengan lokasi TORA yang memiliki minimal 30% kerapatan tutupan pohon, apakah ‘tidak boleh diberikan’ ke masyarakat hanya karena diklaim sepihak sebagai hutan primer dan sumber deforestasi? Bahaya bagi kepentingan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat jika klaim sepihak soal hutan primer tersebut yang dipakai.
Tentu menjadi sangat penting untuk mempelajari motivasi apa yang ada di balik klaim sepihak yang menyamaratakan seluruh tutupan hutan Indonesia tersebut — dalam hal ini dengan mengklaim bahwa seluruh areal yang memiliki minimal 30% kerapatan tutupan pohon sebagai hutan primer, mengingat klaim sepihak tersebut jelas sangat kontraproduktif dengan upaya-upaya pemerimtah mensejahterakan masyarakat.
Klaim sepihak tersebut perlu diantisipasi secara sistematis, mengingat klaim tersebut berpotensi mengandung muatan untuk mengganggu keberlanjutan program perhutanan sosial dan reforma agraria di Indonesia.**