Menimbang Lock Down : Dilemma antara Virus Corona Versus Virus “Kelaparan”

0
1064

Oleh : Taufik Hidayat, MA, PhD.
Wasekum Dewan Da’wah dan peneliti senior pada NSEAS

Penulis terenyuh mendengar suara rekaman supir Blue Bird yang viral di media sosial menyatakan bahwa banyak teman dan keluarga temannya harus menahan kelaparan karena sepinya pengguna jasa akibat kebijakan Work From Home yang digagas oleh pemerintah. Terlepas suara rekaman tersebut benar atau tidak, kenyataan di lapangan memang terdengar oleh penulis sendiri tentang kondisi titik nadir yang mereka alami saat ini. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu memberikan sumbangsih gagasan tentang menangani masalah ini. Seperti kita ketahui, pandemic Virus Corona yang menjadi ancaman global telah membuat beberapa pemerintahan menerapkan kebijakan Lock Down yang bermakna berhentinya kegiatan ekonomi day-to-day yang menjadi inti pergerakan ekonomi mikro.

Untuk negara-negara yang mempunyai GDP (Gross Domestic Product) di atas rata-rata, kebijakan Lock Down masih dimungkinkan dijalankan dengan kompensasi insentif ekonomi tetapi untuk negara negara yang tergolong masih negara berkembang seperti di Indonesia maka kebijakan Lock Down dianggap mempunyai resiko akan munculnya wabah yang tak kalah ganas yaitu virus “kelaparan” bagi para pekerja informal yang menggantungkan penghasilan pada pendapatan harian, bagi mereka hidup tidak seperti pegawai atau karyawan yang bisa mengamankan pendapatan dan mempunyai tabungan untuk bertahan atau mendapat fasilitas tunjangan dari kantor.

Argumen yang menyatakan bahwa tanpa adanya Lock Down akan mengakibatkan meluasnya virus tersebut sehingga mengakibatkan over load dalam pelayanan kesehatan adalah sebenarnya paradoks dengan fakta bahwa Mortality Rates (Purata Angka Kematian) dari penyakit ini sebenarnya tidak menakutkan seperti yang digambarkan. Mortality Rates di Indonesia yang mencapai 8 persen sebenarnya terjadi karena kasus yang dikonfirmasi belum banyak yang dilaporkan, mungkin angka yang tertular sudah banyak mengingat gejalanya mirip flu biasa tetapi dengan penanganan normal dan obat-obatan warung dapat sembuh sendiri (seperti kasus suspek virus corona di Amerika Serikat Elizabeth Schneider yang berhasil sembuh dengan tinggal di rumah saja).

Banyak negara di dunia yang hanya memiliki Mortality Rates hanya sekitar 0.001 sampai dengan 1.5 persen saja (https://www.worldometers.info/coronavirus/countries-where-coronavirus-has-spread/) contohnya seperti di negara Rusia, yang terkonfirmasi terkena Virus Corona lebih banyak dari Indonesia yaitu sebesar 1264 orang (per 29 Maret 2020) tetapi yang meninggal hanya 4 (empat) orang, berarti Mortality Rate-nya hanya 0.3 persen. Begitupula dengan negara Afrika Selatan, kasus yang terkonfirmasi sekitar 1187 tetapi yang meninggal hanya 1 orang, sehingga Mortality Rate hanya 0.08 % saja. Penulis mencoba membuat urutan dari 200 negara yang telah mempunyai kasus virus corona didapati bahwa hanya 18 negara yang mempunyai angka Mortality Rate diatas 4 persen dan sekitar 24 negara yang mempunyai Mortality Rate antara 2 – 4 %, dan ternyata ada 133 negara yang Mortality Rate – nya dibawah 1 persen, sama seperti kematian akibat flu biasa.

Mortality Rate tentunya sangat dipengaruhi oleh transparansi data dari otoritas pembuat kebijakan maupun kesukarelaan korban untuk melaporkan kasus jika terpapar virus corona. Artinya, jika semakin banyak yang melaporkan dan ternyata tidak terjadi kematian pada pelapor maka angka Mortality Rate akan semakin kecil. Banyak para pakar kesehatan berargumen karena masih minimnya pengetahuan mereka terhadap virus Corona ini menyebabkan banyak orang yang menjadi panik dan tidak dapat mengantisipasi dampak yang dialami, karena data Mortality Rate bisa jauh berbeda di setiap negara seperti yang penulis sebutkan diatas. Oleh sebab itu, di tengah ketidakpastian akan ganas atau tidaknya virus corona ini membuat media massa menjadi tumpuan rasa ingin tahu orang banyak, boleh jadi Media Massa pun menambah rasa panik di tengah masyarakat karena dampak minimnya informasi tentang virus corona dari para pakar itu sendiri. Yang lebih berbahaya lagi, jika Media Massa mengeksploitasi celah ini untuk melakukan komodifikasi media dalam rangka menaikkan rating.

Sehingga argumen akan terjadinya ketidakmampuan dalam memenuhi okupansi ruang perawatan akibat Virus Corona sebenarnya adalah terlalu berlebihan karena dengan Mortality Rate yang kecil seperti data yang ada pada 121 negara tersebut diatas, seharusnya bagi warga yang terkena gejala Virus Corona tidak perlu harus dilayani dengan cara cara seperti Virus Ebola (80 % Mortality Rates) atau penyakit MERS (34.3 % Mortality Rates) dan SARS (9.6 % Mortality Rates) yang memang Mortality Rate-nya sangat tinggi.

Walaupun masih terjadi perdebatan antar pakar kedokteran tentang keganasan virus Corona, tetapi dari angka Mortality Rate yang sangat kecil (secara Statistik) di sebagian besar di negara-negara di dunia sebenarnya perlu diambil kebijakan yang lebih win win solution.

Pertama, dengan angka mortality rate secara umum yang sebenarnya hampir sama dengan penyakit flu biasa (0 s.d 1 %, kegiatan ekonomi day-to-day tidak perlu ada penghentian karena bagi yang memang terpapar Virus Corona hanya perlu menggunakan pendekatan medis seperti biasa yaitu istirahat yang cukup dan mengkonsumsi minuman dan makanan yang sehat untuk menaikkan imunitas tubuh.

Kedua, Dalam hal ini, kebijakan pemerintah dengan pengunaan teknologi bisa diterapkan, yaitu setiap orang yang terkonfirmasi dengan Virus Corona (Suspek), secara otomatis diberikan tag / gelang elektronik di tangannya yang berisi RFID/Sensor/GPS untuk men-tracing aktivitas orang tersebut sekaligus bagi yang belum memiliki smartphone sebagai media update data kesehatan suspek maka wajib dipinjamkan / diberikan. Melalui aplikasi yang bisa di-download bebas oleh seluruh masyarakat maka setiap orang dapat memantau pergerakan suspek Virus Corona di manapun mereka berada berdasarkan tag / gelang elektonik yang sulit dilepaskan (Inseparable), sehingga tempat tempat yang dikunjungi oleh suspek Virus Corona bisa dihindari oleh orang lain yang masih belum terpapar. Cara ini telah dilakukan oleh pemerintah China dengan aplikasi yang mereka ciptakan.

Ketiga, bagi suspek Virus Corona yang sudah memeriksakan diri ke rumah sakit dan diberi tag / gelang elektronik, jika gejala awal masih ringan (Mild Symptom) maka suspek tersebut wajib mengisolasi dirinya bersama keluarganya di rumah dan selalu meng-update data kesehatannya melalui smartphone yang diberikan / dipinjamkan tadi, sehingga rumah sakit tidak perlu menumpuk Suspek – Suspek yang masih ringan ini di rumah sakit sehingga menghabiskan energi sumber daya manusia dan lain-lain di rumah sakit.

Ke-Empat, untuk membuat Suspek betah mengisolasi diri, maka apabila status suspek sebagai pegawai PNS atau swasta maka wajib bagi instansi tempat mereka bekerja untuk memberikan cuti dengan tunjangan bila perlu jumlahnya ditambahkan agar lebih termotivasi untuk tinggal di rumah. Sedangkan bagi pekerja/pedagang informal, maka pemerintah wajib mengganti sejumlah uang untuk kebutuhan sehari-hari selama Suspek berada di rumah bila perlu digandakan dua kali lipat agar lebih termotivasi untuk tinggal di rumah. Jika Suspek dinyatakan sembuh bila perlu berikan tunjangan untuk recovery usahanya yang terhambat selama berada di rumah. Dengan cara ini, maka dapat dipastikan setiap masyarakat yang merasa punya gejala terkena Virus Corona akan berbondong bondong mendaftarkan diri karena adanya jaminan kesehjateraan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Tentunya biaya keseluruhan dalam menalangi kehidupan para suspek tidak akan lebih besar daripada biaya yang harus ditanggung jika ekonomi hancur akibat Lock Down. Mungkin pada awalnya petugas di rumah sakit akan kewalahan menerima calon suspek yang antusias mendaftarkan diri karena ada talangan kebutuhan hidup ini tetapi bukankah ini cara yang lebih praktis untuk mengundang Suspek sehingga mereka secara sukarela bisa di-identifikasikan secara lebih mudah dengan men-tracing pergerakan mereka.

Suspek harus diberi rasa nyaman dan tidak dianggap sebagai buron atau penjahat yang menyebabkan mereka merasa seperti bersalah tapi jadikan mereka seakan –akan pahlawan yang menyelamatkan negara (Bela Negara). Jika perlu, beri mereka penghargaan atau insentif progresif ketika memberikan rekomendasi calon-calon Suspek yang harus diperiksa dari lingkungan mereka bekerja, pergaulan dan tempat tinggal mereka (Whistle Blower). Sehingga banyak yang termotivasi dan berlomba–lomba untuk mengawasi lingkungan mereka masing-masing jika melihat ada orang orang yang terindikasi punya gejala terpapar Virus Corona.

Ke-Lima, agar komunitas di daerah tempat suspek tinggal mendukung kebijakan ini, maka rumah Suspek perlu diberi tanda sebagai cara menumbuhkan kepedulian komunitas untuk menyantuni / membantu / mengawasi suspek ketika berada di rumah kepada suspek terhadap kebutuhan yang diperlukan. Sebaiknya pula, pemerintah atau komunitas masyarakat di sekitarnya dapat mengirimkan makanan yang bergizi, obat-obatan penunjang imunitas dan segala macam perlengkapan “Perang” untuk membuat Suspek dan keluarganya punya “Imunitas” tubuh yang kuat sehingga secara alami mereka dapat sembuh dengan sendirinya. Secara berkala petugas dari dinas kesehatan bisa memantau para suspek ini ke rumah mereka masing-masing untuk melihat perkembangan kesehatan. Sehingga petugas kesehatan tidak harus menumpuk di rumah sakit tapi dapat bertugas keliling memantau Suspek. Komunitas pun seperti RT/RW bisa saling mengingatkan kepada warga untuk mengawasi Suspek jika terindikasi sering keluar atau aktivitas yang tidak diperlukan. Melalui aplikasi tracing tadi juga akan diketahui pula jika Suspek beserta keluarganya sering melakukan pergerakan ke luar rumah yang dapat meluaskan penularan sehingga jika terjadi hal demikian maka Suspek dapat diberi sangsi dari yang ringan hingga pidana. Tetapi kebutuhan Suspek harus dipenuhi supaya tidak ada alasan untuk keluar karena ada kebutuhan yang sifatnya mendasar.

Ke-Enam, jika gejala Suspek tidak membaik, maka ambulance dari rumah sakit menjemput Suspek. Sehingga tidak perlu ada pergerakan Suspek ke rumah sakit yang lebih beresiko penularan. Dengan demikian, okupansi di rumah sakit tidak akan melonjak tajam karena harus digabung dengan Suspek yang masih memiliki mild symptom. Karena kemungkinan besar berdasarkan data yang ada, para Suspek yang punya gejala ringan akan dapat sembuh dengan obat-obatan standard dan istirahat yang cukup. Apalagi hal ini urusan takdir dari Allah SWT sehingga ikhtiar se-kecil atau se-besar apapun jika belum ditakdirkan belum meninggal, maka tidak akan terjadi dengan izin Allah SWT.

Ke-Tujuh, karena kegiatan ekonomi berlangsung seperti biasanya, maka setiap orang diberikan alat –alat yang memadai dalam aktivitas mereka di lapangan seperti adanya masker yang higenis, hand sanitizer, mengatur jarak aman, tidak berliburan / ke tempat tempat wisata, tidak melakukan pertemuan publik dengan massa besar, menghindari bersalaman /kontak langsung, peningkatan intensitas pembersihan tempat tempat publik secara berkala seperti toko-toko, terminal, bandara dll (mungkin setiap 2 jam sekali dibersihkan) dan cara cara lain yang dapat menghambat meluasnya penularan virus corona. Tentunya sebagai umat Islam, kita wajib melakukan ibadah-ibadah untuk perlindungan diri (seperti Zikir Pagi-Sore, Shalat Tahajud, Shalat Hajat, Shalat Taubat, Sedekah dll.) sebagai penyempurna ikhtiar kita sebagai manusia. Jika pada akhirnya dengan ikhtiar dan doa masih juga terjadi jatuh korban meninggal dari para pencari nafkah akibat Virus Corona, maka Insya Allah meninggalnya mereka dihitung sebagai Syahid dan pemerintah wajib memberikan santunan untuk anak-anaknya sehingga dapat meneruskan kehidupan dan pendidikan mereka.

Karena menurut penulis, jika kebijakan Lock Down dilakukan maka biaya sosial yang ditimbulkan dari gejolak sosial dan ekonomi akan lebih berbahaya dari dampak wabah Virus Corona itu sendiri. Menyamakan virus corona seperti wabah penyakit Thaun seperti zaman dulu adalah juga terlalu semena-mena karena penyakit Thaun memiiki Mortality Rate yang tinggi. Mungkin saja pilihan kebijakan anti Lock Down akan sedikit meluaskan penyebaran Virus Corona, tetapi dalam perspektif yang tidak terpapar Virus Corona, kebijakan tersebut justru menyelamatkan ekonomi mereka yang mempunyai ekses ekstrem seperti kejadian kelaparan supir Blue Bird di atas.

Menurut penulis, kita harus lebih mempertimbangan bahwa lebih banyak yang tidak terpapar virus daripada yang terpapar virus Corona tersebut. Tetapi jika kebijakan Lock Down diambil, maka sebenarnya kita akan lebih banyak meluaskan Virus “Kelaparan” daripada Virus “Corona” itu sendiri. Pertanyaannya sekarang, besar manakah Mortality Rate Virus Corona dengan Mortality Rate Virus “kelaparan” akibat hancurnya roda ekonomi selama Lock Down ? Jika pemerintah bisa mengatasi dampak Virus “Kelaparan” akibat Lock down” bisa diatasi, maka penulis pun setuju Lock Down dilakukan seperti di negara Amerika yang merencanakan memberi U$ 1000 kepada setiap warga negaranya, tetapi jika Virus “Kelaparan” akibat Lock Down tidak diantisipasi, maka Penulis lebih setuju mungkin Virus Corona sedikit meluas tetapi masih ada peluang untuk sembuh diobati dibandingkan meluasnya Virus “Kelaparan” yang jika terlambat lebih ganas efeknya seperti dampak sosial yang lebih luas yang dapat mengganggu stabilitas negara. Wallahua’alam Bisshawwab

=== End ====

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here