II. OBJEK PERMOHONAN KEBERATAN HAK UJI MATERIIL (LEGAL REVIEW):
Adapun yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil (judicial review) ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 (selanjutnya disebut “Permen LHK Nomor P.39) Tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia yang telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang,Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahan 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara.
III. POSITA
Selanjutnya Para Pemohon mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil (judicial review) dengan alasan hukum sebagai berikut:
1. Bahwa pada 9 Juni 2017 Termohon menetapkan Permen LHK Nomor P.39 Tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani dan kemudian diundangkan pada 4 Juli 2017 (Bukti P-1);
2. Bahwa dalam pernyataan tertulisnya, Ahli Anthropologi Hukum yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H., menyebutkan Permen LHK Nomor P.39 merupakan peraturan kebijakan (beleidregelen) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (wetregelen) seperti yang dimaksud UU Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 Ayat 1 dan Ayat 2, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana secara hirarkis terdiri dari UUD 45, Ketetapan MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Hal yang sama dikatakan Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dalam keterangan tertulisnya, yang menyebutkan bahwa sebagai peraturan setingkat peraturan menteri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 8 ayat 1, Permen LHK tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, merujuk Teori Stupa (Stuffenbau Theorie).
3. Bahwa faktanya Permen LHK Nomor P.39 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Bukti P-2), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Bukti P-3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (Bukti P-4);
4. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 7 huruf a dikaitkan Pasal 8 Ayat 1 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 26 Ayat 1 dan 2; Permen LHK Nomor P.39,Pasal 7 huruf a menyebutkan “IPHPS (Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) dalam hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur pada lahan efektif dengan pola tanam: tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20% (dua puluh per seratus)”. Dalam Permen LHK Nomor P.39, Pasal 7 hurup a, ini memang tidak disebutkan secara tegas tentang adanya hak pemegang IPHPS untuk memanfaatkan hasil hutan berupa tanaman kayu di hutan lindung. Tapi bila dikaitkan dengan Permen LHK Nomor P.39, Pasal 8 Ayat 1 yang menyebutkan, “Hasil budidaya sebagaimana dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 7 dapat dijual kepada BUMN dan atau swasta”, maka itu berarti pemegang IPHPS diberikan kesempatan untuk membudidayakan tanaman kayu di kawasan lindung, seperti yang dimaksud Permen LHK
Nomor P.39, Pasal 7 huruf a, dan kemudian berhak menjual hasil budidaya tanaman kayu tersebut kepada BUMN dan atau swasta. Ketentuan Permen LHK Nomor P.39 Pasal 7 huruf a dikaitkan Pasal 8 Ayat 1 ini, jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 26 Ayat 1 yang secara tegas menyebutkan, “Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.” Artinya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hirarkisnya dari Permen LHK Nomor P.39 sudah melarang pemanfaatan hutan lindung berupa tanaman kayu namun Permen LHK Nomor P.39 sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hirarkisnya dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 malah memberikan peluang
dengan mengijinkan pemegang IPHPS untuk memanfaatkan tanaman kayu dalam hutan lindung, dengan cara melakukan budidaya tanaman kayu. Ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 26 Ayat 2, “Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Artinya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 hanya membolehkan adanya perizinan pemungutan hasil hutan bukan kayu, tidak membolehkan adanya
perizinan pemungutan hasil hutan tanaman kayu seperti yang disebutkan dalam Permen LHK Nomor P.39, Pasal 7 huruf a. Dengan demikian dapat disimpulkan Permen LHK Nomor P.39, Pasal 7 huruf a dikaitkan Pasal 8 Ayat 1 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1909, Pasal 26 Ayat 1 dan 2;
5. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 7 huruf a dikaitkan Pasal 8 Ayat 1 juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 23 Ayat 1; Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 23 Ayat 1 menyebutkan, “Pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. Pemanfaatan kawasan;
b. Pemanfaatan jasa lingkungan;
c. pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Jadi pemanfaatan hutan pada hutan lindung menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juga terbatas hanya pada pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dengan demikian maka Permen LHK Nomor P.39 Pasal 7 huruf a dikaitkan Pasal 8 Ayat 1, juga bertentangan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 23 Ayat 1, sebagai peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dari Permen LHK Nomor P.39.
6. Bahwa pengaturan pola tanam di hutan lindung pada Permen LHK Nomor P.39 didominasi oleh tanaman multi guna /Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 80% sehingga dapat mengakibatkan penurunan fungsi hutan lindung. Dikhawatirkan implimentasi IPHPS melalui pemanfaatan hutan lindung tidak mampu memberikan jaminan akan
memperbaiki fungsi dan kualitas hutan lindung yang menjadi objek IPHPS. Bila fungsi dan kualitas hutan lindung dirusak oleh ribuan pemegang IPHPS maka tinggal tunggu berbagai bencana alam yang akan terjadi adanya pelanggaran terhadap fungsi hutan lindung. Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di pengaruhinya. Apabila hutan lindung diganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir, erosi, maupun tanah longsor. Ini menjadi kekhawatiran Para Pemohon.
7. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Pasal 10 Ayat 2, huruf b;
Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan “Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan
hutan kurang dari atau sama dengan 10% (sepuluh per seratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih.” Permen LHK Nomor P.39, Pasal 3, menyebutkan, ”Perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani diberikan dalam bentuk IPHPS di hutan lindung dan hutan produksi. Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 2 menyebutkan, “Dalam hal
terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10% (sepuluh per seratus).” Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 menyebutkan, “”Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat 2,huruf b, meliputi kegiatan:
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan dan
d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 10 Ayat 2, huruf b yang menyebutkan ”Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a. Perencanaan kehutanan,
b. Pengelolaan hutan,
c. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan,
d. Pengawasan.
Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan 2, hanya memberikan hak pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan kepada pemegang IPHPS di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, di wilayah kerja Perum Perhutani. Padahal kegiatan pengelolaan hutan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dimaksud Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak hanya berupa pemanfaatan hutan, tapi mengandung berbagai kegiatan pengelolaan hutan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Pasal 10 Ayat 2, hurup b
yaitu kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam, seperti yang dilakukan Perum Perhutani sebagai BUMN di bidang kehutanan. Dengan demikian dapat disimpulkan Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Pasal 10 Ayat 2, huruf b sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Permen LHK Nomor P.39. Pemanfaatan hutan tanpa kontrol dengan mengabaikan pengelolaan hutan menjadi kekhawatiran Para Pemohon;
8. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 48 Ayat 2;
Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan “Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan
hutan kurang dari atau sama dengan 10% (sepuluh per seratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih.” Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 2, menyebutkan, “Dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10% (sepuluh per seratus).” Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007, Pasal 27 Ayat 2 secara tegas menyebutkan “Pemberi Izin, dilarang mengeluarkan lagi izin pada areal pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat 1 huruf a dan hurup b yang telah mendapatkan izin pemanfaatan hutan, kecuali izin untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat 1 Hurup C dapat dikeluarkan dengan komoditas yang berbeda.”
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 48 Ayat 2, kembali menegaskan, “Pemberi izin dilarang mengeluarkan izin:
a. Dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggaraan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
b. Dalam areal hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat 2, hurup a sampai dengan huruf f, yakni;
1. Usaha pemanfaatan hutan,
2. Usaha pemanfaatan jasa lingkungan,
3. Usaha pemanfaatan hasil hutan dalam hutan alam,
4. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman,
5. Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam,
6. Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tananam.
Pemberian wilayah kerja kepada pemegang IPHPS di seluruh wilayah kerja Perum Perhutani seperti yang dimaksud Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan 2, akan tumpang tindih dengan wilayah kerja Perum Perhutani yang sudah dilakukan kerjasama dengan mitranya yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 48 Ayat 2, sudah menyebutkan adanya larangan pemanfaatan hutan di tempat-tempat tertentu dalam wilayah kerja Perum Perhutani namun Permen LHK Nomor P.39 sebagai peraturan yang lebih rendah
hirarkisnya dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 malah mengabaikan larangan yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007.
Dengan demikian dapat disimpulkan Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2, telah bertentangan dengan larangan pemanfaatan hutan di tempat-tempat tertentu dalam wilayah kerja Perum Perhutani yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 48 Ayat 2, sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hirarkisnya dari Permen LHK Nomor P.39. Pemberian areal kerja kepada ribuan pemegang IPHPS pada wilayah kerja Perum Perhutani yang sebelumnya sudah dilakukan kerjasama Perum Perhutani dengan mitra kerjanya yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) akan menyebabkan tumpang tindih pemanfaatan hutan, sehingga disamping menimbulkan ketidakpastian
hukum juga dapat memicu konflik horizontal dalam masyarakat. Adanya potensi konflik horizontal dalam masyarakat karena terjadinya tumpang tindih pemanfaatan lahan hutan menjadi bentuk kekhatiran Para Pemohon. Di Desa Wanaya, Kecamatan Teluk Jambe Barat, Kabupaten Kerawang misalnya masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lodaya Mukti kini berhadap-hadapan dengan para pendatang pemegang IPHPS. Bahkan di antara pemegang IPHPS tersebut ada yang berasal dari luar provinsi, sementara LMDH berasal dari masyarakat antar desa/kecamatan
9. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan 2, juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1 dan Ayat 3;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1010, Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan, “Dengan Peraturan Pemerintah ini, pemerintah melanjutkan penugasan kepada perusahaan untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.” Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 3 menyebutkan, “Pengelolaan hutan di hutan negara sebagaimana
dimaksud pada Ayat 1 meliputi kegiatan:
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. Pemanfatan hutan,
c. Rehabilitasi dan reklamasi, dan
d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
Perusahaan yang dimaksudkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1, untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur,
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, jelas Perum Perhutani, bukan pemegang IPHPS.
Disamping kewewenangan pengelolaan hutan yang dimiliki Perum Perhutani maka Perum Perhutani juga berhak memanfaatkan hutan untuk kepentingan masyarakat, seperti yang sudah dilakukan dengan
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai mitra Perum Perhutani selama ini. Namun tetap ada peran Perum Perhutani sebagai BUMN untuk mengelola hutan negara. Dengan demikian dapat disimpulkan Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2, yang semata-mata memberikan hak pemanfaatan hutan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, di wilayah kerja Perum Perhutani, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1 dan Ayat 3, mengingat yang diinginkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 adalah prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, baik dihutan produksi maupun hutan lindung, bukan sekedar pemanfaatan hutan seperti yang dimaksud Permen LHK Nomor P.39, Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2.
Pemanfaatan hutan tanpa kontrol dengan mengabaikan pengelolaan hutan hanya tinggal hanya akan menunggu datangnya berbagai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Ini juga menjadi bentuk kekhatiran Para Pemohon;
10. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2 huruf c bertentangan dengan Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Penjelasannya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 4
Ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1; Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2, huruf c, menyebutkan, “Hak pemegang IPHPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat 2 huruf
d terdiri dari; mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.”. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 menyebutkan,”
M”Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat 2, hurup b, meliputi:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan,”…………….Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di
bidang kehutanan, baik berbentuk Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah menteri.” Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan, ”Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidang Kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 72 ahun 2010, Pasal 3 Ayat 1, menyebutkan,”Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestasi dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.” Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2 huruf c, yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada pemegang IPHPS jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Penjelasannya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 4 Ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1, yang menghendaki Perum Perhutani sebagai BUMN khusus bidang kehutanan yang ditunjuk untuk mengelola hutan negara, yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi. Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2 hurup c, tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hirakis berada di atasnya yakni, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 21 dan Penjelasannya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 4 Ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat 1, tapi juga akan menimbulkan kesemerawutan pengelolaan hutan bila dipaksakan berlaku, karena akan muncul tumpang tindih pengelolaan hutan. Apalagi bila pengelolaan hutan yang diberikan kepada ribuan pemagang IPHPS nantinya dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan;
11. Bahwa apabila pengelolaan hutan negara yang kewenangannya dimiliki Perum Perhutani sebagai sebuah BUMN kehutanan tumpang tindih dengan pengelolaan hutan yang diberikan pada ribuan pemegang IPHPS seperti yang dimaksud Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2, huruf c, maka dapat dibayangkan kesemerawutan pengelolaan hutan negara di masa mendatang. Apalagi bila pengelolaan hutan yang diserahkan kepada ribuan pemegang IPHPS nantinya bukan dilakukan kepada pihak-pihak yang mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan maka kesemerawutan pengelolaan hutan dipastikan akan semakin menjadi-jadi. Pengelolaan hutan yang semerawut berpotensi mengganggu kelestarian hutan pada seluruh aspeknya. Bila kesemerawutan pengelolaan hutan dibiarkan dengan kehadiran ribuan pemegang IPHPS untuk ikut mengelola hutan maka berbagai bencana alam yang disebabkan kerusakan hutan seperti banjir dan tanah longsor, nantinya tinggal waktunya saja terjadi. Hal ini menjadi salah satu kekhatiran Para Pemohon;
12. Bahwa Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2, huruf c, yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada pemegang IPHPS sendiri menimbulkan kerancuan/ketidakpastian hukum di dalam Permen LHK Nomor P.39 sendiri, mengingat dalam pasal-pasal lain dalam Permen LHK Nomor P 39, tidak disebutkan adanya hak mengelola hutan. Dalam Permen LHK Nomnor P.39, Pasal 1 Angka 3, hanya disebutkan hak
pemanfatan hutan, dimana dikatakan dalam pasal tersebut, “Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energy air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi. Dalam Permen LHK Nomor P.39, Pasal 1 Angka 3 tidak disebutkan adanya hak pengelolaan hutan bagi pemegang IPHPS. Kejanggalan lain Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2, huruf c, terlihat pada bagian konsiderannya. Sekalipun Permen LHK Nomor P.39, Pasal 14 Ayat 2, huruf c memberikan hak pengelolaan hutan kepada
pemegang IPHPS, namun dalam konsiderannya sama sekali tidak pernah disebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahaun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan;
(Lanjut ke Bagian ketiga)