Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)
Selama kampanye Pilpres 2014, sangat terbatas dan langka Capres Jokowi berbicara ttg narkoba dan terorisme. Hal ini berlaku pd kampanye tertululis dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Di dalam dokumen ini tidak tercatat hal ikhwal penanggulangan narkoba dan terorisme. Dua masalah ini tidak menjadi prioritas program Jokowi jika terpilih sebagai Presiden RI.
Kebijakan penanggulangan narkoba dan terorisme Jokowi tertuang hanya di dalam RPJMN 2015-2019. Dijelaskan, pencegahan dan pemberantasan narkoba menjadi masalah kemanusiaan global. Ada sekitar 250 juta orang atau setara 4% populasi dunia umur 15-64 tahun menderita penyalahgunaan narkoba (UNODC, 2013). Tentu saja kini angka ini meningkat.
Untuk Indonesia, sesuai hasil Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, 2011, diketahui angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sudah mencapai 2,2 % atau sekitar 4,2 juta orang usia 10-60 tahun. Diproyeksikan jika tak ada upaya penanggulangan, pd akhir 2019 mencapai 4,9 % setara 7,4 juta orang.
Di lain pihak kondisi pengguna narkoba dpt ditemukan dari hasil
Survei BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI (Februari 2017). Survei ini menyasar responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa di 18 Provinsi. Hasilnya, jumlah pengguna narkoba di Indonesia terus meningkat. Pd awal 2016 mencapai 5,9 juta orang. Angka ini meningkat secara fantastis sejak 2015.
Selanjutnya, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, di Indonesia ada 4,5 juta orang menyalahgunakan narkoba, serta 1,2 juta orang di antaranya tidak bisa direhabilitasi karena kondisi sudah terlalu parah. Lebih tragis lagi, sebanyak 40-50 orang meninggal sia-sia setiap hari karena narkoba.
Jokowi sendiri menyatakan “perang”, dan bahkan menetapkan “Indonesia Darurat Narkoba”.
Sasaran strategi pemerintahan Jokowi urus narkoba, yakni: penguatan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Keluaran sbg parameter kinerja urus narkoba dpt dibatasi al :
1. Pembinaan lingkungan
bersih narkoba di lembaga pemerintah dan masyarakat;
2. Peningkatan kesadaran masyarakat dan kewaspadaan tentang bahaya narkotika;
3. Pengungkapan jaringan sindikat tindak pidana narkoba; dan,
4. Laju peningkatan prevalensi penggunaan narkoba 0,05 % pertahun.
Terkait urus terorisme,
bagi Pemerintah, ancaman terorisme bukan saja keamanan masyarakat, tetapi juga langsung membahayakan ideologi Pancasila sbg konsensus dasar bangsa juga UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Satu cara penanggulangan terorisme adalah melalui upaya pencegahan dgn meningkatkan daya tangkap (ketahanan) masyarakat dari pengaruh teroris.
Mengacu Data BNPT 2016, pencapaian daya tangkal masyarakat dari ideologi radikal sebesar 117 %. Lebih besar ketimbang 2014 (85,89 %), selisih 36 %. Melebihi 30 % dari target tahun 2016. Pemerintah juga sudah membangun kesadaran masyarakat melalui pembentukan pemberdayaan forum, al.: Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Kordinasi Pemberantasan Terorisme (FKPT), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan(FKWK).
Rata2 capaian kinerja berdasarkan parameter forum ini, yakni 94 % tingkat provinsi dan 63 % tingkat Kabupaten/Kota (LAKIP 2016 Ke menkon Polkam).
Meski pemerintah klaim punya kinerja baik dan berhasil urus terorisme, namun faktanya masih terjadi aksi terorisme. Aksi pertama, dua pekan memasuki tahun 2016, publik dihadapkan pada peristiwa serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta. Setelah meledak kan bom, pelaku baku tembak dgn petugas Polisi.
Aksi terorisme kedua di Terminal Kampung Melayu (25/5/2016). Tercatat 16 orang menjadi korban ledakan bom. Dari 16 korban, sebanyak 5 orang meninggal dunia, yaitu 2 terduga pelaku dan 3 polisi yang tengah berjaga disekitar lokasi aksi.